Ahad 15 Feb 2015 16:43 WIB

Jala PRT Kecewa DPR tak Masukan RUU PPRT dalam Prolegnas 2015

Rep: Laeny Sulistyawati/ Red: Bayu Hermawan
 Pekerja rumah tangga (PRT) yang tergabung dalam Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR\MPR, Jakarta, Senin (13/1).  (Republika/Agung Supriyanto)
Pekerja rumah tangga (PRT) yang tergabung dalam Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR\MPR, Jakarta, Senin (13/1). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) kecewa dewan perwakilan rakyat (DPR) dan pemerintah, karena tidak memasukkan rancangan undang-undang (RUU) perlindungan pekerja rumah tangga (PPRT) dalam prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2015.

Koordinator Jala PRT, Lita Anggraini mengatakan RUU PPRT sangat penting untuk melindungi pekerja rumah tangga (PRT), mengingat meningkatnya kasus kekerasan terhadap PRT. Padahal menurutnya Badan Legislasi (Baleg), pernah berjanji untuk memasukan RUU PPRT sebagai prioritas Prolegnas 2015, saat pihaknya menggelar aksi unjuk raa pada November tahun 2014.

"Namun, yang terjadi dalam rapat panitia kerja (panja) baleg untuk penetapan prioritas prolegnas 2015 pada 5-6 Februari 2015 adalah dihapusnya RUU PPRT dari prioritas prolegnas 2015," ujarnya saat konferensi pers memperingati hari PRT nasional, di Jakarta, Ahad (15/2).

Lita melanjutkan, aksi mendukung perlindungan PRT terus bergulir. Terakhir pada Januari 2015 lalu, pihaknya bersama change.org mengumpulkan dukungan publik untuk mendesak supaya komisi IX menetapkan RUU PPRT dan ratifikasi konvensi ILO 189 sebagai prioritas prolegnas 2015. Tercatat, sebanyak 17.500 publik mendukung petisi ini.

Sementara itu, aktivis perempuan sekaligus Jaringan Kerja Legislasi Pro Perempuan Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, pekerjaan PRT itu tidak melanggar etika, moral, dan agama seperti yang dilakukan pekerja seks komersial. Artinya, semua pekerjaan asalkan halal itu terhormat, termasuk PRT.

"Oleh karena itu negara harus memberikan perlindungan. Perlindungan dibutuhkan supaya status PRT naik dan diakui sebagai pekerja yang bekerja di bidang terhormat," katanya.

Jadi, negara bukannya menindas atau justru berupaya menghilangkan profesi PRT. Padahal, realitasnya jasa PRT masih banyak dipakai di keluarga. Perempuan yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia ini menyebutkan di luar negeri saja ada 6 juta PRT.

Sementara di Indonesia, sekitar 60 persen keluarga di Kota besar seperti Jakarta punya PRT.

"Nah, kami akan melobi fraksi-fraksi DPR yang terkait supaya memberikan perlindungan hukum mengenai kondisi kerja, hingga upah minimum," tambahnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement