REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VIII DPR Itet Tridjajati Sumarijanto menyatakan, mendukung langkah Presiden Joko Widodo yang akan menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia perempuan (TKI PRT) sebagai pembantu rumah tangga dan pekerja kasar lainnya.
"Sebaiknya, Pemerintah hanya mengizinkan pengiriman TKI yang memiliki keterampilan, bukan PRT," kata Itet Tridjajati Sumarijanto, di Jakarta, Kamis (27/2).
Menurut Itet, TKI PRT selama ini kerap menjadi sumber masalah dan merendahkan martabat bangsa.
Dia menjelaskan, TKI PRT yang bekerja di Timur Tengah memang hidup berkecukupan, tapi tidak dari mereka yang dikurung di rumah dan kalau membuat kesalahan langsung dihukum dengan cara disiksa.
"Mereka tidak mau kalau disuruh kembali lagi. Sebaik-baiknya majikan, mereka tetap dipaksa bekerja keras di luar jam kerja yang normal," kata Itet.
Politikus PDI Perjuangan ini mencontohkan, pengiriman TKI PRT ke luar negeri memberikan dampak psikologis sangat berat. "Saya sudah pergi ke pelosok-pelosok Indonesia dan melihat realitas kehidupan mantan TKI PRT. Banyak keluarga mereka yang hidupnya berantakan," katanya.
Itet menjelaskan, keberhasilan TKI PRT mengumpulkan materi di luar negeri, tidak sebanding dengan penderitaan psikologis yang harus ditanggung selanjutnya. Menurut dia, kebijakan Presiden Joko Widodo yang akan menghentikan pengiriman TKI PRT bukannya membatasi hak konstitusi setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
"Setiap warga negara memang berhak mendapatkan pekerjaan, tapi kalau mempertimbangkan fakta dan realita yang ada, maka jelas kebijakan Presiden Joko Widodo melarang TKI PRT bekerja ke luar negeri adalah keputusan bijaksana," ungkap Itet.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Lampung II tersebut mendorong agar para menteri di Kabinet Kerja segera merespon kebijakan Presiden Joko Widodo tersebut dengan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Menurut dia, kaum perempuan Indonesia memilih menjadi TKI PRT di luar negeri karena faktor kemiskinan, meskipun harus menghadapi risiko besar termasuk jadi korban perdagangan manusia.