REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pertemuan tingkat tinggi pemimpin Buddha dan Islam dari 15 negara di Yogyakarta pada Selasa (3/3) dan ditutup di kompleks Candi Borobudur, Magelang, Rabu (4/3). Pertemuan itu menghasilkan "Pernyataan Yogyakarta".
Pernyataan nilai dan komitmen bersama tersebut dibacakan perwakilan tokoh Buddha Bellanwila Wimalaratana dari Srilanka dan tokoh Islam dari Malaysia Chandra Muzaffar. Pernyataan itu menyebutkan pimpinan Buddha dan Islam memahami bahwa para pendukung mereka telah membangun hubungan yang harmonis, menjadi dasar untuk membangun perdamaian dan kemakmuran di berbagai belahan dunia.
Dalam masing-masing teks kitab suci Buddha dan Islam sama-sama menekankan pentingnya perdamaian yang menyeluruh dan positif, merengkuh perdamaian diri, perdamaian antarsesama manusia dan perdamaian dengan alam.
Mereka kembali menekankan bahwa Islam dan Buddha adalah agama yang penuh kasih sayang dan welas asih yang memiliki komitmen pada keadilan bagi seluruh umat manusia.
Tradisi dari kedua agama ini menghormati kesucian kehidupan dan mewarisi martabat dan kehormatan manusia sebagai fondasi seluruh hak asasi manusia tanpa perbedaan suku, warna kulit, bahasa atau agama. Para tokoh kedua agama tersebut menolak penyelahgunaan agama untuk mendorong diskriminasi dan kekerasan. Buddha dan Islam telah disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk tujuan politik.
Mereka memahami perlunya memperkuat peran pemerintah untuk menolak diskriminasi dan kekerasan atas nama agama. Berdasarkan instrumen hukum yang telah diterima secara universal seperti Artikel 20 dari "International Covenant on Civil and Political Rights dan United nations Human Rights Council Resolution 16/18".
Mereka menyerukan kepada seluruh negara untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam melindungi segenap waqrga negaranya dari kebencian berdasarkan agama dan suku maupun diskriminasi dan kekerasan atas nama agama.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin mengatakan kelompok ekstrem di dunia ini menguat, tidak hanya kalangan Islam di Timur Tengah, tetapi juga di kalangan agama lain, Hindu di India, dan Buddha di Myanmar.
"Hal ini fenomena dunia sekaligus menjadi tantangan dunia maka perlu dicari strategi tepat untuk mengatasi kelompok ekstrem tersebut, antara lain bagaimana memberdayakan kaum moderat jalan tengah yang mayoritas menjadi arus utama untuk menampilkan watak agama jalan tengah dan kita harus mulai melakukan membuka hubungan dengan mereka," katanya.
Menurut dia, memang agak susah untuk dimulai karena yang terjadi perang dan masalahnya bukan hanya ketegangan potensi konflik antarumat beragama, tetapi intraumat beragama.