REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Ekonomi Politik Salamuddin Daeng berpendapat kisruh APBD juga menjadi pemicu terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar AS.
"Kisruh antara lembaga yang melibatkan dewan dan Pemprov DKI dalam APBD Jakarta juga jadi salah satu pemicunya karena stigma internasional yang akan melihat polemik tersebut sebagai indikasi tidak stabilnya situasi politik di Indonesia," kata Daeng seusai acara Diskusi Publik yang mengusung judul 'APBD DKI Siapa Sebenarnya yang Begal' di Jakarta, Senin (9/3).
Daeng yang merupakan ketua dari Aosisasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) cabang Jakarta mengatakan stigma tersebut muncul karena posisi Jakarta sebagai ibu kota yang pasti akan sangat tersorot oleh pemberitaan.
Selain tentang APBD yang menjadi faktor mendasar melemahnya rupiah, menurut Daeng, adalah defisit perdagangan yang belum bisa diatasi, lalu dalam transaksi berjalan uang yang keluar lebih banyak dari yang masuk.
"Serta defisit neraca pembayaran yang parah. Jika tidak ditutupi oleh utang yang banyak, maka tidak akan terbayar," katanya.
Selain itu ada juga faktor dari luar, yaitu menguatnya ekonomi Amerika karena menurunnya harga minyak dunia yang disebabkan ditemukannya sumber minyak baru di sana sehingga ketergantungan paman sam pada impor dari Rusia, timur tengah, Venezuela dan negara lainnya terhenti.
"Ini menyebabkan ketahanan energi Amerika yang terbaik dan terbagus yang belum pernah mereka capai sebelumnya," ujarnya.
Bank Indonesia menetapkan stress test-nya pada angka Rp16 ribu per satu dolar AS. Dia menjelaskan Stress Test BI adalah prediksi yang dibuat oleh bank sentral tersebut yang menjelaskan nilai tukar terendah rupiah terhadap dolar yang akan membuat perusahaan di Indonesia gulung tikar.
Bahkan, kata Daeng, beberapa lembaga riset internasional meramalkan nilai rupiah sepanjang tahun 2015 akan berada di atas Rp 13 ribu. Mereka juga memperingatkan kliennya agar berhati hati dalam situasi ini.