REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau menyatakan penggunaan bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari baik di negeri sendiri maupun di luar negeri dalam beberapa tahun terakhir mulai terpinggirkan akibat pengaruh berbagai faktor seperti tuntutan zaman.
"Seperti contoh penggunaan bahasa Melayu di negeri jiran Singapura telah tergerus sekitar 30 sampai 40 persen dari jumlah penduduk suku Melayu sekitar 500 orang akibat terpengaruh budaya asing terutama bahasa Inggris," papar Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAM Riau, Al Azhar, Kamis (19/3).
Hal tersebut diutarakan Al Azhar usai menerima belasan orang guru dari program penyerapan senior tahun 2015 Anjungan Pusat Bahasa Melayu Kementerian Pendidikan Singapura bekerja sama dengan Lembaga Adat Melayu Riau di gedung lembaga itu yang berada di Jalan Diponegoro, Pekanbaru.
Orang Melayu di Singapura, lanjut dia, merupakan penduduk asli di negara tersebut yang sekarang mencapai 14 persen dari total penduduk. Sementara mayoritas terbesar warga Singapura merupakan pendatang dari Cina sebesar 74 persen, India 9 persen dan lain-lain sekitar 3 persen.
Pemerintah Singapura menempuh jalur untuk memperkenalkan kembali bahasa Melayu pada masyarakat melalui jalur pendidikan mulai dari tingkat setaraf sekolah dasar, sehingga guru-guru mata pelajaran budaya tersebut di kirim ke berbagai tempat di negeri jiran yang salah satunya Provinsi Riau.
"Mereka (guru Singapura) pelajari budaya kita dengan mengunjungi Riau untuk memulihkan bahasa Melayu dan kami menerima kunjungan itu dengan senang hati untuk memperlihatkan kerja sama dengan menunjukkan betul-betul ke-Melayu-an," katanya.
Sementara di Riau, terang dia, nilai-nilai tentang ke-Melayu-an tersebut sendiri dewasa ini telah menipis seperti penggunaan bahasa Melayu dalam sehari-hari dan seperti kehilangan semangat untuk pelajari budaya dan bahasa di saat orang dari luar belajar bahasa Melayu.
"Mengutip istilah budayawan Tenas Efendi, budaya melayu estestis seperti pantun, syair dan lain-lain itu telah kita miliki. Tetapi dari segi nilai, mulai rapuh. Kurikulum muatan lokal Melayu masih sangat parsial atau simbolik dan belum mengakar. Aspek-aspek estestis berkembang, tetapi aspek etis dan nilai-nilai layu," jelas dia.