REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi branding Muhammad Rahmat Yunanda mengatakan citra ibu kota negara Jakarta lebih banyak negatifnya dibandingkan kesan positifnya.
"Jakarta merupakan kota dengan banyak citra. Sayangnya, citra yang kuat adalah citra negatif," kata Rahmat yang juga Direktur Utama Makna Informasi di Jakarta, Ahad (22/3).
Oleh karena perlu dilakukan upaya pencitraan ulang Jakarta, yang dimulai dari pencarian dan penguatan identitas ibu kota itu yang berdaya saing.
"Citra Jakarta lebih banyak dipersepsikan negatif. Warga kota merasakan langsung efek kesan negatif kesemrawutan kota ketika bepergian dan beraktivitas," jelas Rahmat.
Efek yang sama juga dirasakan ketika warga mendapatkan pelayanan publik. Secara tidak lansung, persepsi negatif juga terbangun karena pemberitaan tentang Jakarta dengan nada yang negatif, atau melalui percakapan di media sosial.
Hal tersebut menyebabkan mendesak dilakukannya pencitraan ulang. "Identitas adalah sumber terpenting dalam melakukan branding kota. Identitas menjelaskan berbagai persamaan dan perbedaan kota-kota.
Persamaannya terletak pada fungsi-fungsi pelayanan yang dimiliki suatu kota seperti ekonomi, transportasi, pendidikan, keamanan dan lain-lain. Perbedaannya terletak pada persepsi dan pemaknaan pemangku kepentingan kota terhadap fungsi tersebut," papar dia.
Selain itu, makna yang hadir akan berbeda karena kualitas kinerja fungsi layanan juga berbeda. Misalnya, perbandingan fungsi layanan transportasi dan pelayanan publik antara Jakarta dan Singapura.
"Fungsi layanan kota yang berdaya saing adalah prasyarat dasar membangun citra kota yang kompetitif seperti kota-kota utama global dan regional."
Identitas kota yang berdaya saing membuka ruang untuk kota melakukan "positioning" dan mendapatkan citra positif, contohnya Singapura yang diasosiakan sebagai kota yang memiliki tata kelola yang berdaya saing menjadi lokasi kantor untuk perusahaan global.