REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta DPR dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar segera mengesahkan RUU Perlindungan Nelayan dengan fokus perlindungan dan pemulihan terhadap hak-hak nelayan tradisional. Ini penting sebab sebanyak 92 persen dari total pelaku perikanan di Indonesia tergolong skala kecil. Sementara, sebanyak 25 persen total angka kemiskinan berasal dari kampung pesisir dan nelayan.
Sejumlah komponen pun perlu dimasukkan dalam RUU tersebut di antaranya reforma agraria di perairan. “Negara harus mengakui peran nelayan skala kecil dan masyarakat adat untuk memulihkan, melestarikan, melindungi dan bersama sama mengelola lingkungan perairan lokal dan ekosistem pesisir,” kata Wakil Sekjen KNTI Niko Amrullah sebagaimana siaran pers yang diterima Republika pada Ahad (22/1).
Selain itu, perlu ditekankan soal pengaturan pengelolaan sumber daya berkelanjutan. Di mana, negara harus memfasilitasi, melatih dan mendukung masyarakat nelayan tradisional untuk berpartisipasi dan bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.
Perlu pula diatur tata pembangunan sosial, ketenagakerjaan dan pekerjaan yang layak. Pada aspek ini, kata Niko, negara harus memperhatikan tentang kesehatan, pendidikan, pemberantasan buta huruf, inklusi digital, perlindungan jaminan sosial, akses ke layanan perbankan dan skema asuransi.
Pemerintah, kata dia, harus mewaspadai fluktuasi Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang masih tinggi. Faktanya, dua regulasi pemberantasan illegal fishing yaitu moratorium izin kapal eks asing serta larangan transshipment belum menunjukkan benang merahnya terhadap kesejahteraan nelayan. Meski nilai NTN di Februari 2015 sebesar 106.72, meningkat dibanding 3 bulan pertama Pemerintahan Jokowi, namun angka ini terbilang rentan dibanding tren NTN 5 tahun terakhir.
Menyorot NTN di Provinsi, maka Maluku mempunyai NTN tertinggi dibandingkan yang lainnya, sedangkan Bali yang paling rendah. Dari 34 provinsi di Indonesia, Bali adalah provinsi yang mempunyai angka NTN kritis di bawah standar statistik.
Maka yang tak boleh luput dari perhatian selanjutnya yakni terkait mata rantai perdagangan. Negara harus menyediakan akses ke pasar-pasar lokal, regional, nasional, dan internasional serta mendorong perdagangan yang adil dan non-diskriminatif bagi produk perikanan skala kecil.
“Selanjutnya, negara dan pihak-pihak lainnya harus meningkatkan kemampuan masyarakat nelayan skala kecil untuk memungkinkan mereka berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan,” tuturnya.
Yang terakhir yakni soal kesetaraan gender. Kebijakan yang dibuat dalam RUU haruslah tidak mendiskriminasikan perempuan nelayan. Sebab mereka pun penting dalam menggarap pengolahan hasil perikanan yang lebih mempunyai nilai tambah ekonomi.