REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Kesatuan Islam Indonesia Anti Sara (KIIAS), Ali Hamzah, mengatakan tersebarnya ajaran Islamic State Iraq Syria (ISIS) di Indonesia menjadi bukti lambannya peran Badan Intelejen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menanggapi kasus tersebut.
Seharusnya, lanjut Ali, lembaga tersebut bisa mendeteksi lebih dini tetang perkembangaan radikalisme ISIS di Indonesia. "Mohoh maaf kalau saya harus bilang BIN dan BNPT ini agak lamban," ungkap Ali pada Republika.co.id, Kamis (26/3).
Selain itu, tambah Ali, kasus ISIS juga memperlihatkan ketidakberdayaan BIN dan BNPT yang seharusnya tanggap atau peka. Ali juga menjelaskan wacana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) ISIS belum mendesak sifatnya.
"Sebaiknya upayakan dulu langkah-langkah pencegahan yang preventif," tuturnya.
Karena, menurut Ali, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang terorisme bisa digunakan untuk menjerat pelaku atau penyebar ajaran radikal. "Pakai produk hukum yang tersedia dulu," ujar Ali.
Sebelumnya, ada 12 warga negara Indonesia (WNI) yang ditangkap pihak keamanan Turki karena dicurigai akan bergabung dengan ISIS. Walapun 12 WNI tersebut akan dipulangkan, tetapi Polri menyatakaan mereka akan menjalani program pembinaan deradikalisasi ketika tiba di Tanah Air.
"Setelah pulang, rencananya mereka akan masuk program pembinaan deradikalisasi," kata Kabagpenum Divhumas Polri, Kombes Rikwanto, di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (26/3).