REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Sunai Phasuk dari kelompok independen Human Rights Watch mengatakan mengganti darurat militer dengan Pasal 44 akan membuat Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha hampir kebal hukum. Menurutnya, ketentuan tersebut adalah kekuasaan tertinggi tanpa akuntabilisas.
''Di bawah Pasal 44, tidak ada batas untuk kekuasaan. Semua keputusan akan dianggap konstitusional dan sulit ditentang,'' kata Sunai, Selasa (31/3).
Hal ini, tambahnya, menjadi kekhawatiran situasi tetap tidak bisa diperbaiki. Aturan baru ini membuat militer memiliki kekuasaan lebih besar untuk mengendalikan negara, termasuk meredam demokrasi.
Kritik terhadap Pasal 44 menunjukan Prayuth bisa mendapatkan kekuasaan tak terhingga.
Junta yang dikenal sebagai Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban telah memiliki cengkraman dan tidak berniat melepaskannya. Militer mulai mengambil alih kekuasaan sejak 22 Mei tahun lalu. Mereka menerapkan darurat militer beberapa hari sebelum itu.
Sebelumnya, Prayuth meminta izin pada Raja Bhumibol Adulyadej untuk mencabut undang-undang darurat militer. UU darurat militer akan diganti dengan Pasal 44.
Pasal 44 akan mengizinkan militer menahan seseorang hingga maksimal tujuh hari meski tanpa tuduhan. Peraturan di dalamnya juga mengizinkan tentara menahan seseorang atau kelompok tanpa surat perintah penangkapan.
Meski demikian, mencabut darurat militer akan menjadi angin segar tersendiri untuk Thailand, terutama sektor pariwisata. Sektor ini menyumbang hampir 10 persen dari pendapatan negara.
Hingga saat ini, sektor tersebut belum pulih dari dampak kudeta tahun lalu. Pengangkatan darurat militer akan membuat wisatawan tidak ragu lagi merencanakan perjalanan ke negara gajah putih tersebut.