REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr. Wayan Windia menilai, akibat alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali menyebabkan sejumlah pura (tempat suci) subak telantar dan tidak terpelihara.
"Hal itu akibat lahan subak yang tadinya sawah berubah menjadi tempat pemukiman atau tempat usaha lainnya, sehingga tidak ada lagi petani yang merawat dan memelihara secara khusus tempat suci subak tersebut," kata Wayan Windia yang juga guru besar Fakultas Pertanian Unud di Denpasar, Sabtu (18/4).
Ia mengatakan, alih fungsi lahan pertanian di Bali setiap tahunnya rata-rata 750 hektare, bahkan lima tahun sebelumnya bisa mencapai 1.000 hektare. Kondisi tersebut menyebabkan lahan pertanian semakin menyempit, meskipun sawah di Bali kini masih tercatat sekitar 81.000 hektare.
Penyempitan lahan pertanian itu menyebabkan areal subak berkurang, sehingga iuran yang masuk ke kas subak yang dipungut dari petani semakin kecil sehingga tidak cukup untuk menggelar kegiatan ritual di pura subak.
Windia menjelaskan, kondisi itu cukup menggelisahkan karena petani harus menanggung beban yang semakin berat, pada sisi lain kemampuan petani sangat terbatas, sehingga menyebabkan sejumlah pura subak tidak terawat dengan baik. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya friksi, apakah pura subak itu harus dikelola oleh desa, atau ada alternatif lain.
Hal itu penting karena pura subak mempunyai hubungan yang kuat antara kondisi pura subak dengan baik-buruknya organisasi sistem subak yang bersangkutan. Dengan demikian keberadaan sistem subak di Bali tidak terlepas dari peranan para raja yang memegang pemerintahan di Bali.
Keberadaan subak berkembang di Bali sejak tahun 678 sehingga memerlukan waktu sekitar 393 tahun sejak perkembangan sistem pertanian, karena sistem subak ada sejak tahun 1071, ujar Wayan Windia.