Kamis 30 Apr 2015 11:16 WIB

Muslim Thailand Menuju Jalan Kebebasan (3-habis)

Rep: c 08/ Red: Indah Wulandari
Para pelajar Muslim Thailand
Foto: thestar
Para pelajar Muslim Thailand

REPUBLIKA.CO.ID,Setelah konflik berkepanjangan yang sudah mengakar ratusan tahun, membuat sejumlah kalangan pemuda terpelajar dan mahasiswa Islam Thailand gusar dan mendesak kedua belah pihak untuk segera menyelesaikan persoalan.

Hal itu dilakukan agar perbedaan agama dan budaya tidak lagi menjadi persoalan di Thailand. Para mahasiswa aktif menggelar pertemuan untuk membahas ide-ide mereka dalam rangka merentangkan tali perdamaian antara pihak pemerintah dengan kaum Muslim Melayu yang berada di  selatan.

Reuters mewawancarai seorang mahasiswa Muslim Thailand yang menjelaskan bahwa mereka kerap melakukan pertemuan di sebuah universitas yang ada di wilayah selatan, yaitu di Provinsi Pattani.

Pertemuan ini kerap digelar usai pemerintah menandatangani kesepakatan dengan kelompok Barisan Revolusi Nasional (BRN) pada Februari 2013 lalu. Mahasiswa menyadari adanya celah damai yang dapat diupayakan bila semua pihak mau melakukan dialog dengan intensif dan mau menghargai perbedaan satu sama lain.

Mereka sadar bahwa cara untuk meredam konflik adalah dengan mengintegrasikan dua keinginan yang berbeda dari pemerintah dan kelompok Muslim Melayu.

Ide-ide mahasiswa ini pun diamini oleh Wali Kota Yala Pongsak Yingcharoen. Pongsak yang berbicara atas nama warganya mengatakan, bahwa rakyat Thailand sangat tidak menyukai konflik yang berujung kepada aksi kekerasan.

“Warga lokal berharap kekerasan tak terjadi selama proses pembicaraan berlangsung. mereka berusaha warga memahami supaya proses perdamaian ini segera terwujud,” kata Pongsak.

Para pengamat mengatakan, adanya indikasi pemerintahan Thailand yang menyimpan niatan untuk mengakhiri ketegangan dengan Muslim Melayu di selatan.

Meskipun selama ini menilai tabu untuk mengakui wilayah selatan sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus, namun akhir-akhir ini mereka sudah mulai memikirkan ke arah sana. Pemerintah menyadari upaya paksa yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun terbukti tidak membuahkan hasil yang sama-sama menguntungkan keduabelah pihak.

 “Kata otonomi menjadi kata yang tabu buat pemerintah, tapi sekarang mereka mau mendiskusikannya secara terbuka,” kata pengamat dari Asia Foundation Thomas Park.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement