REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menolak k-eras pelibatan prajurit militer dalam struktur jabatan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menegaskan, prajurit tentara nasional tak dibolehkan ikut campur dalam penindakan pidana korupsi.
Menurut dia, cara pikir pejabat KPK melanggar undang-undang jika melibatkan TNI dalam menjalankan fungsi pemberantasan korupsi. Semakin inkonstitusional, jika KPK merekrut TNI untuk dijadikan penyidik di komisi antirasuah itu.
"Di mana kita menemukan dasar konstitusinya? Ini idenya yang tidak-tidak," kata Fahri saat ditemui di gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Jumat (8/5). Politikus dari fraksi Keadilan Sejahtera (PKS) ini pun curiga, perekrutan prajurit militer oleh KPK itu punya tabiat tak betul.
Dikatakan Fahri, rivalitas pemberantasan korupsi tiga lembaga penegak hukum membuktikan ketimpangan nilai. Paling kentara antara KPK dan Polri. Tapi selama ini, masyarakat memilih percaya KPK, meskipun dikatakan Fahri banyak kecacatan hukum selama ini.
Namun belakangan, diterangkan Fahri, popularitas KPK menurun. Setidaknya dari aspek politik pascakalahnya KPK soal praperadilan ajuan Komjen Budi Gunawan. Dikatakan Fahri, rivalitas belakangan, seperti ingin membawa militer turut serta di dalamnya. "Ini seperti KPK mencari teman lalu mengajak untuk menakut-nakuti," ujar dia.
Sebelumnya, KPK berencana untuk meminta bantuan TNI agar beberapa prajurit aktif ikut dalam struktur jabatan KPK. Ke-rja sama tersebut, bahkan dikatakan untuk menambah jumlah penyidik KPK dari satuan militer tersebut. Namun, kerja sama KPK dan TNI itu dianggap inkonstitusional.
Anggota Komisi I DPR, TB Hasanudin pun menyampaikan penolakan serupa. Kata dia, ada baiknya setiap lembaga pemerintahan agar membuka konstitusi untuk menyeret prajurit TNI dalam setiap hal.
Kata dia, UU 34/2004 soal TNI, hanya membolehkan penempatkan prajurit militer aktif di 10 lembaga kementerian atau setingkatnya. Antara lain: di Kementerian Pertahanan, Lembaga Sandi Negara, Badan Intelijen Negara, Dewan Pertahanan Nasional, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, serta pos setingkat kementerian lainnya.