REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kementrian Agama Dr Muchlis Hanafi mengungkap jumlah langgam itu tidak terbatas. Tujuh langgam Arab yang populer juga pada awal kemunculannya mengalami seleksi cukup panjang, hingga yang populer dan diterima di telinga masyarakat adalah tujuh langgam tersebut.
“Sama halnya seperti versi Arab itu karena terseleksi secara alami, akhirnya tujuh langgam itu yang populer,” ujar Muchlis saat dihubungi ROL, Kamis (21/5).
Muchlis mengatakan, saat Qori membaca Alquran menggunakan langgam Jawa, Sunda, Sumatera, silahkan. Selama Qori tersebut masih memperhatikan kaidah-kaidah ilmu tajwid, makhrojul huruf, dan nada yang digunakan itu bisa menggambarkan suasana batin di pemabaca ketika berhadapan dengan ayat-ayat dalam al-Quran serta pemahaman dan kekhusyuannya dalam membaca.
Hanya saja yang perlu digali kembali, langgam Jawa itu memiliki tingkatan nada tidak untuk melukiskan bahwa ayat yang dibacakan itu bercerita tentang kesedihan, kepedihan, azab atau nuansa yang mencekam. Begitu juga, untuk menggambarkan suasana kebahagiaan, nikmat, dalam ayat al-quran, nada seperti apa langgam jawa menggambarkannya.
“Jadi bukan sekadar irama yang meliuk-liuk begitu saja, karena Alquran dibaca untuk dipahami dan direnungkan,” kata Muchlis
Dari tujuh langgam yang sudah populer seperti Bayati, Hijaz, Shoba, Ziharka, Rost, Nahawan, dan Sikkah, Muchlis menerangkan jika para Qori akan memilih langgam tertentu untuk mewakili perasaan dan suasana batinnya saat membaca al-Quran. Misalnya, saat sang Qori membacakan ayat yang berisi azab dan kesedihan, maka Qori akan menggunakan naghom Shoba.
Sedangkan untuk menggambarkan ayat-ayat tentang surga, nikmat yang berlimpah dari Allah, Qari akan menggunakan naghom nahawan. (naghom: nada dan irama bacaan). “Jadi dasar awal naghom itu adalah makna, jadi bukan hanya sekadar rasa atau karsa atau saya ingin lagu ini, tidak bisa,” kata Muchlis.
Jadi menurut Muchlis, langgam silahkan dikembangkan selama tidak keluar dari tiga ketentuan yang harus ada. Tapi kemudian apakah yang lain akan menerima atau tidak, itu yang akan terseleksi secara alami. Namun untuk bacaan al-Quran yang diiringi musik menurut Muchlis harus lebih hati-hati.
“Kalau diiringi dengan musik saya kira tidak ada larangan, hanya saja secara etika saya kira ini kurang, karena akan menagganggu. Kalau dengan diiringi musik itu menambah kekhusyuan tidak apa-apa, tapi mengganggu kekhusyuan kita dalam mentadaburi dan menghayati bacaan Alquran, itu tidak pantas untuk dilakukan, saya cenderung tidak, walaupun tidak ada larangan,” kata Muchlis.