Ahad 07 Jun 2015 09:22 WIB

Di Pintu Hari Perhitungan

Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk sering-sering merasakan lapar dan dahaga karena dapat mengetuk pintu surga.
Foto: Solangelage.bs.com
Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk sering-sering merasakan lapar dan dahaga karena dapat mengetuk pintu surga.

Oleh: Hasan Basri Tanjung

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika kita melakukan perjalanan dan melewati tempat pemeriksaan, baik domestik maupun mancanegara, lalu tidak diperiksa petugas, bahkan disambut dengan hormat, biasanya hal ini hanya berlaku untuk pejabat penting (VVIP) seperti kepala negara dan pemerintahan atau tamu negara. Mengapa mendapat privilege (keistimewaan) itu? Karena mereka punya kedudukan, prestasi, dan karya yang membanggakan.

 

Kejadian di atas pun seakan terjadi kelak sebelum memasuki tempat abadi (surga atau neraka). Semua manusia akan melalui pintu pemeriksaan dokumen hidup yang disebut hari perhitungan (yaum al-hisab).

 

Rasulullah SAW pernah menyebutkan sahabat yang masuk surga tanpa hisab, antara lain  Abu Bakar RA, Umar ibnu Khattab RA, Utsman bin Affan RA, Ali bin Abi Thalib RA, Zubair bin Awwam RA, (HR at-Turmudzi). Nabi SAW juga bersabda, “Tujuh puluh ribu atau 700 ribu dari umatku akan masuk surga tanpa dihisab, mereka masuk berturut-turut, sedang rupa mereka seperti cahaya bulan purnama.” (HR Bukhari).

Orang pertama ditanya, “Mengapa Tuan merasa pantas masuk surga tanpa dihisab?” “Aku seorang pahlawan yang mati syahid di medan perang karena membela agama.” Jibril bertanya lagi, “Dari mana kau tahu itu?” Ia menjawab, “Dari guruku, orang alim.” “Kalau begitu, jagalah adab kepada guru. Mengapa tak kau beri kesempatan orang alim masuk surga dahulu?” kata Jibril. Ia pun menyadari kelancangannya.

Orang kedua ditanya hal serupa dan menjawab, “Aku haji mabrur yang balasannya surga.” “Dari mana kau tahu itu?” “Dari guruku, orang alim,” sahutnya. “Mengapa engkau tidak menjaga adab kepada gurumu?” ujar Jibril. Ia pun sadar atas kekhilafannya.

Orang ketiga pun ditanya dan menjawab, “Aku orang kaya yang dermawan. Kekayaanku halal dan diinfakkan di jalan Allah.” “Dari mana kau tahu itu dapat ganjaran surga?” tanya Jibril. “Dari guruku, orang alim.” “Lalu, mengapa orang alim tidak kau hormati?” Ia pun tertunduk malu.

Setelah orang alim yang saleh itu diberi kehormatan, ia lalu berkata, “Maaf, Tuan-Tuan. Aku tidak akan dapat belajar dan mengajar dengan tenang apabila tidak ada pahlawan yang rela mati syahid. Aku juga tidak dapat pahala terus-menerus jika haji mabrur tidak mengamalkan ilmu yang kuajarkan. Kami pun tidak akan dapat leluasa tanpa kedermawanan orang kaya.  Oleh karena itu, biarlah orang kaya yang masuk surga duluan, disusul pahlawan, haji mabrur dan aku menyusul.”

 

Dialog sufistik ini memberi banyak pelajaran. Pertama, orang-orang hebat diukur dari ketaatannya kepada Allah SWT (ritual) dan kemanfaatannya bagi orang lain (sosial). Keempat orang itu adalah orang-orang yang berbuat untuk umat, bukan untuk dirinya sendiri.

Kedua, rasa egois (anaiyah) dan angkuh bisa menerpa siapa saja yang memiliki kelebihan. Merasa paling benar, patut dihargai dan dihormati.

Ketiga, alim ulama yang rendah hati adalah pewaris para nabi yang membimbing, menyejukkan, dan menyatukan umat. Ulama yang tawadhu' akan dimuliakan, apalagi ia pandai memuliakan orang lain. Wallahu a'lam bishshawab.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement