REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso menyebut proses demokrasi di Indonesia memunculkan peluang terjadinya tindak pidana korupsi. Pasalnya proses demokrasi di negara ini membutuhkan biaya yang besar.
"Potensi korupsi masih cukup besar. Proses demokrasi di Indonesia juga memunculkan potensi korupsi melihat prosesnya membutuhkan biaya yang banyak," kata Topo saat dihubungi ROL, Sabtu (20/6) malam.
Ia menyebut sebagai salah satu contohnya dalam pemilihan kepala daerah atau anggota dewan. Para calon membutuhkan biaya besar untuk mendapatkan posisi yang diinginkan. Dukungan yang dibutuhkan juga seperti diketahui secara umum tidak didapat dengan gratis.
Akibatnya, ujar dia, pejabat yang terpilih tentunya akan mencari jalan untuk mengembalikan modal besar yang sudah dikeluarkannya. Salah satunya dengan cara menikmati uang negara dengan cara tidak halal. Termasuk pula menerima gratifikasi ataupun suap dari berbagai pihak.
Selain itu proses birokrasi serta relasi antar lembaga juga memunculkan peluang terjadinya tindak korupsi. Oleh karena itu upaya pencegahan harus semakin ditingkatkan dengan semakin maraknya korupsi yang terjadi. Melihat upaya penindakkan yang dilakukan KPK sudah cukup berhasil.
Fenomena korupsi memang menjadi ancaman Indonesia. Apalagi yang terlibat biasanya pejabat yang berjuang mengatasnamakan rakyat. Baru saja KPK juga berhasil menangkap dua anggota DPRD Sumatera Selatan dalam operasi tangkap tangan (OTT).
KPK menetapkan empat orang tersangka yakni BK dan AM yang merupakan anggota DPRD Kabupaten Musi Banyuasin serta Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah SF, dan Kepala Bappeda FA.