REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Fatwa adalah hasil ijtihad dari para ulama yang tak punya sifat mengikat. Setiap orang bisa dengan bebas mentaati fatwa ulama, dan bisa pula mengabaikannya tanpa ada sanksi hukum apa-apa.
Inilah harapan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui ijtima' ulama mereka dalam memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Mereka berharap, hasil fatwa yang dihasilkan melalui ijtima' bisa ditindaklanjuti pemerintah sebagai undang-undang yang punya sifat mengikat. Sehingga umat Islam bisa mengindahkan hasil fatwa tersebut.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat Gusrizal Gazahar mengatakan, ijtima' sebagai produk dari ijtihad ulama tentu bisa salah dan bisa benar. Karena hasil ijtima' merupakan pendapat ulama di zaman tersebut, bukan hal mustahil jika di kemudian hari bisa dibatalkan karena tidak kondusif lagi dengan situasi dan kondisi.
Namun, kehadiran ijtima' tentu lebih kuat dari sekedar fatwa ulama biasa. Ijtima' merupakan hasil diskusi dari seluruh ulama yang datang se-Indonesia.
"Tentu ijtima' lebih bisa dipertanggungjawabkan dibanding fatwa-tafwa personal atau individu. Karena ini sudah dibahas dan dikaji secara kolektif oleh para ulama yang diamanahkan untuk bertanggungjawab terhadap fatwa tersebut," jelasnya, akhir pekan lalu.
Gusrizal mengatakan, orang yang yang mengikuti ijtima' adalah orang pilihan yang bisa disebut pakar dalam bidang fatwa.
"Hasil dari ijtima' ini tentu lebih baik daripada analisa personal. Karena itu, disamping MUI sebagai lembaga yang diamanahkan menjadi lembaga fatwa, mestinya umat Islam menempatkannya sebagai pegangan dalam menjalankan agama," jelasnya.
Fatwa yang dihasilkan melalui ijtima juga dianggap lebih kuat dibanding fatwa yang hanya dikeluarkan Komisi Fatwa MUI.
"Secara kedudukan hirarkisnya lebih tinggi dibanding fatwa yang dilahirkan ketua komisi. Karena eventnya adalah nasional. Ulama yang membahasnya adalah ulama se-Indonesia. Sedangkan fatwa komisi hanya dilahirkan oleh komisi saja," paparnya.
Konsep fatwa, menurut Gusrizal, secara ushulnya tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti qadha (keputusan pengadilan) yang punya sifat mengingat dan memaksa. Fatwa hanya sebatas pendapat ulama atau mufti. Kendati demikian, pendapat ulama tersebut mesti ditaati oleh umat Islam, khususnya mereka yang awam dalam hal hukum Islam.
"Jangan ada pula kesimpulan, terserah kita mau mengikuti atau tidak, atau mengambil seenaknya saja. Karena itu pendapat yang dilahirkan ulama dengan kapasitas keilmuan," jelas Gusrizal. Mempercayai fatwa ulama merupakan suatu jalan ketaatan dalam beragama. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, "Dan bertanyalah kepada ahli zikir (ulama) jika kamu tidak mengetahui." (QS al-Anbiya' [21]: 7).
"Jadi konsepnya, memang fatwa tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti qadha, tetapi bukan berarti fatwa bisa dipandang enteng begitu saja. Fatwa mesti dijadikan pedoman dalam kehidupan," tambahnya.
Ketua MUI Bidang Perekonomian dan Produk Halal, Amidhan mengatakan, saat ini sudah banyak fatwa MUI yang diadopsi menjadi undang-undang oleh pemerintah. Amidhan mencontohkan, seperti undang-undang mengenai produk halal dan ekonomi syariah.
"Fatwa produk halal dan ekonomi syariah ini, karena dia mengikuti undang-undang harus diindahkan oleh pemerintah dan seluruh masyarakat terutama umat Islam. Kalau melanggar bagi umat islam, itu ada ancamannya," terang Amidhan .
Menurut Amidhan, dalam konstitusi disebutkan dalam pasal 28 J bahwa pemerintah harus mengindahkan fatwa MUI jika terkait dengan moral, agama, serta pertahanan keamanan.
Misalkan soal produk halal, sepenuhnya pemerintah harus taat menjalankan fatwa MUI karena berkaitan dengan makanan. Pemerintah tak bisa mengintervensi atau terlalu jauh berbicara soal hukum makanan halal karena hal itu wilayah dari ulama.
"Kalau makanan halal, industri makanan yang melanggar sesuai dengan undang-undang sekarang, dia bisa kena sanksi. Kalau di bidang ekonomi seperti bank syariah, asuransi syariah, atau pasar modal syariah, kalau melanggar ketentuan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) itu namanya sudah tidak syariah lagi. Maka izin syariahnya bisa dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," jelas Amidhan.