REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN -- Polisi antihuru-hara di ibukota Armenia, Yerevan menggunakan meriam air untuk membubarkan ratusan demonstran yang memprotes pemerintah atas kenaikan harga listrik, Selasa pagi (23/6).
Pada Senin (22/6), sekitar 4.000 demonstran berbaris menuju istana presiden untuk memprotes kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga sebesar 16 persen. Para demonstran menuduh pemerintahan Presiden Serzh Sarkisian telah gagal membendung peningkatan kemiskinan bangsa Armenia.
Beberapa ratus orang berdemo semalaman dengan bertahan duduk dan memblokir lalu lintas. Puluhan polisi antihuru-hara kemudian bergerak untuk membubarkan para demonstran pada Selasa pagi.
Polisi memukul beberapa orang dengan tongkat karet dan menembakkan meriam air untuk memaksa kerumunan demonstran membubarkan diri. Puluhan orang ditahan dan polisi berpakaian preman memukuli para wartawan serta menghancurkan atau menyita peralatan mereka.
Armenia, negara berpenduduk 3,2 juta jiwa, telah terkena dampak besar dari krisis ekonomi di Rusia. Ekspor ke Rusia anjlok, begitu pula dengan pengiriman uang dari warga Armenia yang bekerja di Rusia.
Pada Senin, para menteri luar negeri Uni Eropa sepakat memperpanjang masa sanksi ekonomi terhadap Rusia hingga Januari 2016 akibat peran Pemerintah Rusia dalam krisis Ukraina.
Januari lalu, Armenia bergabung dengan "Eurasian Customs Union" yang dipimpin oleh Rusia. Eurasian Customs Union adalah persatuan dari negara-negara anggota Uni Ekonomi Eurasia. Armenia, yang dulu termasuk dalam Uni Soviet, secara ekonomis terisolasi karena negara itu berbatasan dengan Turki dan Azerbaijan yang diblokir karena sengketa internasional yang sedang berlangsung.