REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir memandang fenomena LGBT dari sisi sosiologi. Menurutnya, orang-orang yang memiliki orientasi seksual sesama jenis tidak boleh diberi ruang terbuka dan legitimasi di tengah masyarakat.
"Ketika kaum homoseksual memperoleh artikulasi sosial dalam kehidupan masyarakat dengan alasan hak asasi manusia, akhirnya yang semula tidak punya kecenderungan pun memilihnya menjadi gaya hidup,” kata Haedar Nashir kepada ROL, Selasa (30/6).
Secara sosiologi, kata dia, boleh jadi secara individual memang ada orang yang mempunyai kecenderungan seperti itu. Tetapi, dalam sosiologi pun tiap anggota masyarakat harus menaati norma sosial.
Doktor Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menjelaskan, dalam konteks itu, para penyuka sesama jenis tidak boleh dibiarkan tumbuh kecenderungannya menjadi komoditas atau kelompok sosial yang legal, sehingga bisa berkembang di tengah masyarakat.
Menurutnya, kalau pernikahan sesama jenis sudah menjadi gaya hidup dan bukan lagi sebagai penyimpangan, akhirnya akan menjadi satu tradisi dan budaya di masyarakat. Norma-norma sosial pun biasanya akan ikut berubah. Ia berpendapat, disanalah bedanya norma sosial dengan norma agama.
Ia menjelaskan, norma sosial memiliki kemungkinan berubah sesuai dengan praktik masyarakat. Di negara dan masyarakat yang membolehkan hubungan tanpa nikah, hubungan berkeluarga tanpa nikah menjadi benar secara norma sosial.
Menurut Haedar, itu lantaran masyarakat membolehkan dan memberi legitimasi. Lain halnya dengan norma agama. Norma agama berpatokan pada wahyu, tidak bersifat situasional.
“Kalau ada orang-orang yang punya kecenderungan seperti itu, mestinya dibina dan diarahkan. Kalau atas nama hak asasi dia memperoleh ruang sosial yang terbuka, yang semula penyimpangan akan berubah menjadi gaya hidup,” tegas Haedar Nashir.