REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Pemerintah lagi-lagi merevisi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Setelah sebelumnya merevisi pertumbuhan dari 5,7 persen ke 5,4 persen, kali ini pemerintah hanya yakin pertumbuhan ekonomi di angka 5,2 persen.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan revisi pertumbuhan ekonomi ini dilakukan karena melihat kondisi terakhir. Utamanya pertumbuhan semester I yang hanya sebesar 4,9 persen.
Menurutnya revisi kali kedua ini adalah hal biasa. Sebab, International Monetary Fund (IMF) bahkan juga cukup sering merevisi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini.
"Wajar kalau kami revisi lagi. Kami cari yang paling realistis," kata Bambang saat berbuka bersama dengan awak media di kantor Ditjen Pajak, Kamis (2/7).
Dijelaskan Bambang, pertumbuhan ekonomi harus direvisi lagi karena kemungkinan besar serapan belanja modal pemerintah hingga akhir tahun di kisaran 87-90 persen. Itu sudah dengan berbagai upaya percepatan yang dilakukan.
"Dari sisi pemerintah, belanja modal yang paling berpengaruh mendorong pertumbuhan ekonomi," tambah Bambang.
Dia mengatakan daya serap APBN tidak bisa maksimal mengingat ini adalah tahun pertama pemerintahan Joko Widodo sehingga membutuhan perubahan APBN yang telah ditetapkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Banyak perubahan program dan membutuhkan waktu menyiapkan daftar isian pelaksanaan anggaran. "Kemudian juga karena adanya perubahan nomenklatur di kementerian teknis seperti Pekerjaan Umum," ucap Bambang.
Belum membaiknya harga komoditas juga menjadi alasan penting lain mengapa pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi. Sebab, anjloknya harga komoditas membuat Indonesia tidak bisa mengandalkan ekspor untuk menggenjot pertumbuhan.