REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insiden massa saat Idul Fitri di Tolikara, Papua, pada Jumat (17/7) lalu disinyalir akibat kebobrokan beberapa unsur birokrasi untuk memuluskan kepentingan politis.
"Tragedi Tolikara, menurut analisa saya adalah muara dari kepentingan-kepentingan politis yang dibungkus dengan sentimen agama dan ekonomi sebagai pemicunya," ujar Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, dalam rilisnya, Sabtu (25/7).
Tragedi ini, ujarnya, juga produk dari simbiosis dari jejaring Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang berkolaborasi dengan anasir asing melalui gereja dan misionarisnya.
Pemda setempat yang terindikasi banyak kasus korupsi, serta tidak sigap dan seriusnya aparat keamanan plus intelijen untuk mengambil tindakan preventif juga membuka potensi rusuh.
"Sikap gagapnya pemerintah untuk bertindak tegas mengindikasikan kompleksitas kepentingan politik berbagai pihak terhadap Papua. Justru sikap pemerintah melalui instansi terkait sangat aneh dan blunder saat mayoritas melihat fakta permukaan bahwa telah terjadi intoleransi," kata pemerhati kontraterorisme ini.
Harits menyimpulkan, sikap tidak tegas dari pemerintah tadi menyisakan tanda tanya besar. Di antaranya, apakah sekadar ingin membela tirani minoritas di Indonesia atau karena tidak ingin ada tekanan asing pada pemerintah saat ini.
"Umat Islam menunggu solusi konkretnya!" tegas Harits.