REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Meski mengundang kontroversi di kalangan nahdliyyin, sistem ahlul halli wal ‘aqdi (ahwa) diterapkan untuk memperkecil kemungkinan politik uang dalam muktamar.
Sistem ini disebut-sebut akan membedakan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam dengan partai-partai politik.
“Kita menginginkan sistem ahwa ini tidak lain supaya NU itu benar-benar dalam memilih pemimpin tidak seperti partai-partai politik. Satu cabang, satu suara,” kata Katib Aam Pengurus Besar NU KH Malik Madani, Rabu (29/7).
Malik melanjutkan, sistem pemilihan satu cabang satu suara adalah praktik yang biasa terjadi di partai-partai politik. Sistem pemilihan pemimpin di sebuah ormas Islam bernama NU mestinya berbeda dengan sistem pemilihan kepemimpinan di parpol.
Menurut dia, sistem pemilihan yang berlaku sekarang merupakan warisan NU ketika masih menjadi partai politik. NU pernah menjadi parpol dan ikut bertarung dalam pemilu pada tahun 1952-1971.
Sistem ini dilestarikan sampai sekarang, padahal NU sudah bukan lagi partai politik. Ia pun menegaskan, tidak ada kepentingan politik apapun di balik perubahan sistem ahwa ini.
Sebelum NU berubah menjadi parpol, tutur Malik, pemilihan Rais Aam dilakukan lewat penunjukan langsung oleh para kiai. Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari dipilih secara aklamasi, begitu pula Kiai Wahab Chasbullah. Semua dilakukan atas dasar kesepakatan para ulama, tidak melalui sistem satu cabang satu suara sebagaimana kebiasaan di partai politik.
“Ya, mungkin kalau efektif 100 persen kita tidak menjamin. Tapi, barangkali memperkecil kemungkinan terjadinya politik uang. Itu saya kira, sistem ahwa bisa kita harapkan seperti itu,” kata Malik.