REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bendahara Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas mengatakan, akad Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) masih belum jelas. Sebelumnya, Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan menerima dan memperbolehkan BPJS Kesehatan dalam sidang Komisi Bahtsul Masail.
Menurut Abbas, pelaksanaan BPJSK seperti kegiatan tolong menolong. Namun masih harus dilihat lebih jauh apakah memang benar begitu praktiknya. Sehingga unsur akad yang mengikat peserta BPJSK masih belum bisa ditentukan secara pasti.
"Bentuk akadnya masih belum diketahui, apakah jual beli atau bukan. Kalau asuransi konvensional itu akadnya jual beli. Kalau taawun (gotong royong) itu kumpulkan uang bareng-bareng trus kalau ada yang sakit baru dikeluarkan," ujarnya saat dihubungi ROL, Selasa (4/8).
Ia menjelaskan, dalam BPJSK itu perpindahan uang yang terjadi masih belum diketahui.Perpindahan uang yang dimaksud yaitu ketika peserta BPJSK menyerahkan iuran lalu penggunaan uang terkumpul hasil iuran itu tidak diketahui hukumnya secara jelas termasuk ke dalam jenis apa."Perpindahan uang itu akadnya apa, bisa jual beli, sedekah, hadiah, atau hibah," tuturnya.
Sebelumnya, sidang Komisi Bahtsul Masail NU bisa menerima dan BPJSK yang sempat dinyatakan tidak syariah oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut sidang itu, BPJS itu tergolong dalam konsep Syirkah Taawwun yang sifatnya gotong royong (sukarela), bukan seperti asuransi yang menjadi dasar dari fatwa haram oleh MUI.
Soal polemik BPJS ini, Abbas menekankan agar masyarakat mengikuti fatwa MUI dibandin melihat pandangan masing-masing organisasi. Pasalnya, ia menjelaskan sudah ada lembaga khusus pemberi fatwa secara nasional supaya antar organisasi Islam tidak saling berbeda pendapat.
"Sebaiknya, ikuti MUI sebagai pembuat fatwa utama daripada melihat fatwa dari masing-masing aliran," imbaunya.