REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Dunia berubah selamanya ketika pesawat AS menjatuhkan bom atom pertama di kota Jepang, Hiroshima 70 tahun yang lalu. Bagi warga Jepang dan sejarawan, bom ini memiliki makna yang berbeda.
Pihak Amerika mengatakan mereka mengambil langkah drastis untuk mengakhiri lebih awal Perang Dunia II dan menyelamatkan nyawa ratusan ribu tentara AS, tapi narasi resmi ini sekarang dibalikkan.
Pada 6 Agustus 1945, bom atom pertama di dunia meledak di atas Hiroshima, memusnahkan pusat kota dan menewaskan sekitar 140 ribu orang pada akhir tahun itu. Keiko Ogura berusia delapan tahun saat itu, dan hanya berada 2,4 kilometer dari lokasi kejadian.
Ia ingat saat dirinya tengah dikepung api.
"Sebuah kilatan cahaya dan ledakan membanting saya ke tanah dan saya kehilangan kesadaran. Saya bangun, saat itu gelap dan semua orang menangis," kenangnya.
Keiko mengatakan, bom atom Hiroshima dan lainnya di Nagasaki yang terjadi tiga hari kemudian, yang menewaskan 70 ribu orang lebih adalah kejahatan perang.
Banyak sejarawan mengatakan, pemboman itu tak menyebabkan Jepang menyerah, dan deklarasi perang Soviet atas Jepang dua hari kemudian sempat menjadi kejutan besar. Itu mengakhiri harapan Soviet akan menegosiasikan penyerahan diri yang menguntungkan bagi Jepang.
Tentara Kekaisaran Jepang yang melemah tak memiliki kapasitas untuk melawan Soviet pada pertempuran kedua di Cina dan Jepang Utara.
Sejarawan Jepang Yuki Tanaka mengatakan negara tak punya pilihan karena Soviet akan membunuh Kaisar Hirohito yang dipandang sebagai jantung dan jiwa dari Kekaisaran Jepang.
"Uni Soviet akan menghancurkan sistem kaisar dan mereka akan mengeksekusi kaisar serta seluruh anggota keluarga kerajaan," jelasnya.
Amerika percaya keterkejutan dan kekaguman atas kekuatan dahsyat dari bom itu memaksa Jepang menyerah, tetapi para ahli mengatakan di dalam Jepang sendiri hal itu dipandang berbeda.
Amerika telah menghancurkan 66 kota di Jepang dengan aksi pengeboman besar-besaran. Dalam hanya satu malam, 100 ribu warga sipil tewas di Tokyo.
Direktur Studi Asia di Universitas Temple University, Tokyo Jeffery Kingston mengatakan bom itu tak memiliki dampak yang diharapkan Amerika.
"Jika Anda melihatnya dari perspektif militer Jepang, Tak ada perbedaan besar apakah orang mati dari bom biasa atau bom atom. Itu hanya dipandang sebagai kehancuran dua pusat kota,” ujarnya.
Bom atom mungkin berperan dalam mencegah invasi darat yang berdarah dan membuat ribuan warga Amerika tetap hidup, tapi sejarawan seperti Jeffery mengatakan bom itu juga bermakna pesan kepada Soviet.
"Kami memiliki senjata baru yang luar biasa ini, kami memiliki monopoli atasnya dan kami akan muncul sebagai negara adidaya terkuat. Artinya, itu adalah salvo pembukaan Perang Dingin," katanya.