Senin 10 Aug 2015 07:14 WIB

Senator: Subsidi Pupuk Kimia Kebijakan yang Salah

Pupuk (ilustrasi)
Foto: Antara
Pupuk (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Subsidi pupuk kimia dinilai sebagai kebijakan yang salah dan berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Nofi Candra mendesak Pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pemberian subsidi terhadap pupuk atau pestisida non-organik. 

"Sudah saatnya pemerintah memikirkan tindakan preventif untuk mencegah masyarakat dari berbagai macam penyakit yang ditimbulkan dari zat kimia," ujar anggota Senator asal Sumatra Barat itu dalam siaran persnya, Senin (10/8).

Nofi menggulirkan wacana penghentian subsidi pupuk dan pestisida non-organik sebagai rekomendasi hasil kunjungannya ke beberapa lembaga di Italia, seperti CRA dan FAO untuk membahas masalah pengembangan pertanian di Indonesia.

CRA (Consiglio per la Ricerca in Agricoltura e l’Analisi dell’Economia Agrari) merupakan organisasi riset nasional yang beroperasi di bawah pengawasan Menteri Pertanian dengan kompetensi keilmuan umum dalam bidang pertanian, agroindustri, makanan, perikananan dan kehutanan. "CRA berfungsi melakukan penelitian pertanian dan juga untuk meningkatkan inovasi dan teknologi di sektor pertanian," ungkapnya.

Menurut dia, CRA juga merupakan lembaga yang juga berperan dalam peningkatan daya saing pertanian yang sesuai dengan standar Eropa dan internasional. Misi terpenting dari CRA adalah untuk perlindungan tanaman dan produksi yang akan disalurkan kepada konsumen serta menjamin kesehatan tanaman yang akan dikonsumsi. Sementara FAO (Food Agriculture Organization) adalah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang juga bermarkas di Roma, Italia.

Nofi menambahkan, pemerintah harus mengupayakan adanya regulasi yang mengatur tentang pupuk atau pestisida berbahan kimia di Indonesia. Regulasi dan kebijakan ini harus berintegrasi dan melibatkan minimal tiga lembaga, yaitu; Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Kesehatan.

"Hal ini mengacu kepada regulasi internasional yang telah digunakan oleh Uni Eropa. Kalau tidak mempunyai regulasi, Indonesia akan menjadi pembuangan makanan berbahan kimia yang diimpor dari negara Eropa," jelasnya. Menurut dia, negara-negara Uni Eropa, kkhususnya Italia, memiliki kebijakan untuk mengekspor hasil pertanian yang menggunakan pestisida kepada negara-negara yang tidak mempunyai regulasi yang jelas mengenai penggunaan pestisida non-organik.

Salah satu negara tujuan ekspor tersebut adalah Indonesia. Menurut dia, Indonesia tidak mempunyai regulasi yang mengatur pestisida dan kadar pestisida non-organik yang digunakan untuk hasil pertanian.

"Artinya, negara-negara Eropa mengekspor hasil pertanian yang mengandung pestisida non organik (mengandung zat kimia) ke Indonesia. Indonesia dijadikan salah tujuan pembuangan makanan dan hasil pertanian yang diminimalisir mereka konsumsi atau bisa juga disebut 'pembuangan'," ungkap tokoh yang bersama anggota DPD muda lainnya menggagas Poros Senator Indonesia untuk memberikan pandangan-pandangan kritis yang membangun dalam pelbagai persoalan kebangsaan.

Menurut dia, Pemerintah harus mendukung peran swasta dalam pengembangan hasil dan lahan pertanian. Misalnya, pemerintah harus memberikan supporting system dengan kemudahan-kemudahan tertentu kepada pihak swasta yang mau mendistribusikan hasil pertanian organik. "Harus ada lembaga independen di Indonesia yang memberikan sertifikasi terhadap pemakaian pestisida dan mengukur kadar pemakaiannya agar terkendali dan terkontrol kesehatan dari hasil pertanian di Indonesia," tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement