REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hisab dan Rukyat Agus Mustofa menilai perlu ada pembedaan antara penentuan kalender Hijriyah dan pelaksanaan prosesi ibadah. Agus mengatakan, saat ini ormas Islam di Indonesia memang belum menemukan titik temu dalam penentuan tanggal ibadah seperti awal Ramadhan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah.
"Kami usulkan ke Kementerian Agama untuk memisahkan persoalan kalender dengan ibadah. Kalau urusan kalender memang harus hisab. //Nah// untuk ibadah memang belum bisa disatukan," kata Agus ketika dihubungi ROL, Kamis (3/9).
Agus menjelaskan, Muhammadiyah dan Persis menggunakan hisab untuk menentukan awal bulan dalam penanggalan Hijriyah. Sementara Nahdlatul Ulama, menggunakan hisan hanya untuk perkiraan sebelum melakukan rukyat. Lewat cara itu, jika hilal tidak nampak pada akhir bulan Hijriyah, maka awal bulan baru menurut NU jatuh pada esok lusa meskipun secara hisab semestinya esok sudah masuk tanggal satu bulan baru.
Agus menekankan masalah kerap muncul di Indonesia karena terjadi campur aduk persoalan ibadah dan kalender. "Kerap terjadi dua versi tanggal satu dalam suatu bulan Hijriyah," ujarnya.
Umat Islam Indonesia, kata Agus, bisa mencontoh penanggalan Arab Saudi. Pemerintah Arab Saudi menetapkan kalender secara hisab. Prosesi rukyat, jelasnya hanya dilakukan jelang Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Jika terjadi penggenapan, maka awal puasa Ramadhan di Arab Saudi bisa jatuh pada 2 Ramadhan.
Menurut Agus, tidak perlu ada tarik menarik pendapat terkait kalender dengan ibadah. Dalil berpuasa dan berbuka yang menjadi rujukan rukyat pun tidak menyebutkan kalender secara spesifik. "Kalau ini terwujud masyarakat akan semakin tercerahkan dan menerima perbedaan secara lebih objektif," katanya.