REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VIII DPR Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengumumkan, mulai menjalani masa cuti melahirkan pada 1 September sampai 30 November. Meski begitu, ia masih menyempatkan diri untuk memaparkan dan berbagi informasi mengenai berbagai masalah sosial yang sedang dibahas di parlemen.
Putri Hashim Djojohadikusumo tersebut memutuskan untuk menyelenggarakan pertemuan dengan media sebagai sebuah kesempatan untuk berbagi informasi tentang perkembangan pekerjaannya di Komisi VIII DPR.
“Saya memang harus cuti untuk mempersiapkan dan proses kelahiran bayi pertama saya. Tetapi tidak ada cuti untuk tetap memberi perhatian dan memikirkan masalah sosial di tengah bangsa ini,” kata Sara, sapaan akrabnya, di Jakarta, Kamis (3/9).
Sebagai anggota parlemen, Sara bergabung di Panja Penanggulangan Bencana, Panja RUU Penyandang Disabilitas, dan Panja Perlindungan Anak. Sekaligus, ia juga aktif sebagai anggota Pansus Timwas TKI serta Koordinator Bidang Media dan Jaringan Luar Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI).
Mengenai masalah kebijakan pemerintah untuk usaha menyejahterakan rakyat, pada dasarnya Sara menyambut positif berbagai inisiatif Presiden Jokowi. Namun, ia tetap mengkritisi implementasi kebijakan-kebijakan yang ada pada saat ini.
“Kebijakan yang positif untuk menyejahterakan rakyat tanpa pendataan yang akurat akan membuat semua kartu-kartu sosial yang disediakan pemerintah menjadi kartu ajaib dalam makna tragis,” ujar politikus Partai Gerindra yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Tengah IV, meliputi Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri.
Menurut dia, tanpa data yang akurat, tervalidasi maupun terverifikasi, maka semua kartu yang seharusnya menjadi jalan keluar untuk masalah sosial hanya memperburuk situasi karena tidak tepat sasaran. "Mengakibatkan pemborosan besar-besaran, memantik gesekan horizontal. Dan, pemerataan kesejahteraan hanya menjadi janji-janji kosong," katanya.
Dia pun merujuk pada program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang diberikana kepada keluarga miskin yang mendapat Rp 200 ribu per bulan. Menurut dia, program tersebut sebenarnya bagus, namun tidak tepat sasaran.
"Data yang digunakan 2011, itu melanggar UU. Karena data kemiskinan harus diperbarui setiap dua tahun. Kemensos bagaimana melihatnya, apakah betul tepat sasaran atau tidak? Tragisnya bahwa karena salah sasarannya itu, programnya bagus, niatnya baik, tetapi kalau datanya tidak akurat, masih data yang salah, data 2011," kata Sara.
Dia pun mendapat cerita langsung ketika terjun ke dapil untuk berdialog dengan berbagai kepala desa. 'Ini cerita dari lapangan, yang mengambil data dan survei itu subjektif, karena kenal yang mengambil survei, banyak kepala desa yang tak mengerti. Kami sudah minta datanya, tapi tidak diberikan. Hampir 70 sampai 80 persen salah sasaan. Misal, sudah meninggal, sudah tak mendapatkan lagi karena keluar dari kemiskinan. Setiap minta data ke Kemensos, tak dikasih. Mereka bilangnya data di BPS."
Meski demikian, ia memiliki catatan positif mengenai kebijakan yang ada di beberapa kementerian maupun lembaga non-kementerian, seperti Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) yang menjadi mitra kerjanya di Komisi VIII DPR. Menurutnya, BNPB merupakan contoh lembaga dengan kinerja yang baik. Hal itu ia nilai dari kesiapan BNPB dalam merespon bencana, mulai dari tahap preventif hingga rehabilitatif telah terbangun kian kokoh.