REPUBLIKA.CO.ID, MUNICH -- Sekitar 10 ribu pengungsi mulai memasuki perbatasan Kota Munich, Jerman, Ahad (6/9) waktu setempat. Seperti dilaporkan The Independent, tampak barisan anak-anak, ibu dan orang tua memadati jalan di kota tersebut.
Tercatat, pengungsi termuda merupakan perempuan bayi mungil dengan tali pusar masih belum diputus yang lahir di sebuah stasiun di Hongaria belum lama ini.
Warga Jerman menyambut puluhan ribu orang malang ini dengan suka cita. Anak-anak disambut dengan pelukan, tawa, sereal, mainan serta boneka. Sejumlah pasangan muda, mengenakan pakaian tradisional Bavaria-Jerman, berbaris rapi di tepi jalan, menyambut mereka yang datang dari arah timur. Pasangan lain menunjukkan spanduk dengan tulisan berbahasa Jerman: Willkommen in Deutschland! Selamat Datang di Jerman!
Sejak awal pekan lalu, Munich telah membuka pintu bagi pengungsi yang telah beranjak melalui Austria dari Hongaria. Semenjak di Stasiun Kereta Api Munich, ribuan dari mereka dijemput dengan menggunakan sejumlah bis ke tempat penampungan sementara, sebelum mereka ditempatkan di Bavaria.
Sebagian dari mereka ada yang berencana menetap di Jerman. Sebagian lain, akan meneruskan perjalanan ke negara-negara Eropa Barat lainnya.
Salah seorang pengungsi, Soran (28 tahun), berasal dari suku Kurdi di Irak. Dia menceritakan, dia dan keluarga melarikan diri dari rezim ISIS. Mereka berharap bisa menetap di Inggris lantaran masih punya kerabat di sana.
“Saya ingin menjadi warga negara Inggris, dan tak mau lagi terbebani masa lalu,” ucap Soran.
Sejumlah relawan setempat dengan sigap menyambut para pengungsi. Mereka menyediakan ratusan mobil dan tenda berisikan makanan, air bersih, dan perlengkapan anak-anak. Sebagian bertepuk tangan gembira, berusaha mengangkat hati para pengungsi.
“Katakan dengan lantang dan jelas, semua pengungsi diterima baik di sini,” kata sejumlah relawan selagi mengisi kendaraan dengan perlengkapan, Ahad (6/9).
Ratusan warga Jerman antusias meluangkan akhir pekan mereka bersama pengungsi. Seperti Christiane Goder (24 tahun), yang lebih memilih ke stasiun menolong pengungsi daripada meneruskan langkahnya ke museum untuk liburan. “Saya sangat terharu. Saya hanya membantu sekadarnya,” tutur dia.
Persoalan pengungsi menjadi krusial belakangan ini. Terlebih, perhatian global menyoroti arus manusia malang itu yang harus melarikan ke Benua Eropa dari perang yang berkecamuk di Tanah Air mereka, kawasan Timur Tengah.
Ini dipantik pula oleh fenomena memilukan, tewasnya bocah kecil Aylan (3 tahun). Dia ditemukan tak bernyawa di Pantai Bodrum, Turki, setelah ia dan rombongan keluarganya gagal dalam pelayaran menuju Pulau Kos di Yunani, Rabu (2/9).