REPUBLIKA.CO.ID, Festival Payung Indonesia 2015 resmi dimulai. Acara yang dibuka langsung oleh Penjabat Sementara (Pjs) Wali Kota Solo Budi Suharto tersebut berlangsung dari 9-11 September di Kota Solo, Jawa Tengah. Tak sekadar gelaran budaya, acara ini memiliki agenda untuk menyelamatkan desa-desa payung yang hampir punah.
Taman Balekambang yang menjadi pusat kegiatan bersolek menghadapi festival tahunan itu. Payung warna warni menghias langit-langit taman. Satu kerangka payung raksasa terbuat dari bambu menjadi pusat ornamen ribuan payung yang mengelilingi taman budaya itu.
Balekambang yang disulap menjadi taman payung semakin meriah tatkala para penari menyajikan tarian berhias payung dari berbagai daerah. Penampil dari Senggigi, Riau, mempertontonkan Tari Silat Payung. Tari yang berasal dari inovasi Silat Pangeran ini kerap dibawakan saat upacara penobatan takhta dan pernikahan.
Tak mau kalah, gadis-gadis Karanganyar menampilkan Tari Kembang Labu. Deretan gadis cilik hingga dewasa serasi membawakan tarian yang juga dilengkapi payung itu. Pernak-pernik kesenian tradisional di Balekambang kian dinamis dengan iringan dari Bengawan Symphony yang membawakan tiga tembang. Diantaranya adalah Payung Fantasi.
Peserta berasal dari Kabupaten Bau-Bau (Sulawesi Tenggara), Palu (Sulawesi Tengah), Kabupaten Kuantan Sengingi (Riau), Padangpanjang (Sumatra Barat), Bengkulu, Bandung hingga Tasikmalaya. Sementara itu, tiga delegasi dari luar negeri turut menjadi penampil yakni Jepang, Cina dan Thailand.
Tigabelas daerah peserta festival pada umumnya memiliki desa payung. Setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Ketua PFI 2015 Heru Prasetya mengungkapkan, festival payung dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap banyaknya desa-desa payung di nusantara yang berhenti berproduksi. "Festival payung ini untuk menggairahkan desa-desa,"ujarnya di Taman Balekambang, Surakarta, Kamis (11/9).
Salah satunya yakni Desa Juwiring, Klaten. Sebelum adanya festival payung, Heru mengungkapkan, kerajinan payung di desa itu terancam punah. Sulitnya warga memasarkan produk mereka membuat payung-payung tradisional dari desa itu sulit dijual.
Setelah adanya festival, Heru mengungkapkan permintaan payung semakin meningkat. Banyak pemesan dari daerah dan mancanegara membeli payung-payung hasil kerajinan desa.
Tidak heran jika festival ini diwarnai workshop-workshop pembuatan payung. Para pengunjung akan berinteraksi langsung dengan kreator ulung berbagai payung tradisional nusantara dengan gratis. Berbagai ilmu membuat payung 'handmade' yang akan dibagikan yakni workshop payung Tasikmalaya, Juwiring, Thailand, Cina, hingga payung kreasi rajut.
Salah satu trainer workshop dari Sanggar Rumah Rajut, Tutus Dispraya Sri, akan mengajarkan bagaimana membuat payung lewat rajutan. Berbagai macam motif rajutan akan diajarkan Tutus lengkap dengan variasi warnanya.
Untuk membuat satu payung rajutan hingga selesai, butuh waktu tiga hari. Satu payung membutuhkan tiga gulung benang wol. Untuk satu payung, Tutus memberi tarif payung itu Rp 300 ribu-Rp 500 ribu. "Ini kegiatan bermanfaat untuk ibu-ibu. Enggak kerasa sekalian rumpi,"ujarnya.
Saat sambutan, Pjs Wali Kota Budi Suharto memberi pesan kepada panitia dan aparat pemerintahan agar festival tersebut tak hanya menjadi gelaran budaya. Menurutnya, payung yang sudah menjadi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seharusnya bisa dijadikan benda bernilai ekonomi.
Adanya kesulitan ekonomi yang sedang dihadapi segenap warga saat ini bisa dijawab dengan menggerakkan roda ekonomi seperti payung. "Ini harus 'ngaruh' terhadap perekonomian kita,"ujarnya.