REPUBLIKA.CO.ID, BENDIGO -- Komunits Muslim di Kota Bendigo (sekitar dua jam dari Melbourne), Australia tetap akan melanjutkan rencana pembangunan masjid pertama di kota itu, meskipun diprotes oleh segelintir warga setempat.
Demikian dikatakan Heri Febriyanto, juru bicara Bendigo Islamic Association kepada ABC. Warga asal Indonesia ini bermukim di Bendigo dan merupakan salah seorang tokoh di balik rencana pembangunan masjid pertama di kota itu.
Rencana ini ditentang oleh sebagian warga. Bahkan, pada Rabu (16/9) malam, Wali Kota Peter Cox terpaksa membubarkan rapat pemerintah kota saat sekelompok warga yang hadir di balai kota menimbulkan keributan dan berteriak-teriak menentang rencana itu (Simak beritanya di sini).
Menurut Heri Febriyanto, rencana ini sebenarnya tidak dipermasalahkan oleh mayoritas warga Bendigo. "Aksi protes yang terjadi tidak menggambarkan pandangan masyarakat luas," katanya.
"Mayoritas warga Bendigo mendukung kami. Kami pun selalu mendukung kehidupan yang damai dan harmonis," tambah Heri.
Masjid dan pusat budaya tersebut rencananya berlokasi di daerah industrial di wilayah timur kota itu, dan telah disetujui pemerintah setempat dengan sejumlah syarat pada Juni 2014.
Sekelompok warga yang menamakan dirinya 'Rights for Bendigo Residents' menentang keputusan pemerintah kota dan membawa kasusnya ke peradilan Victoria's Civil and Administrative Tribunal (VCAT).
Oleh VCAT, keputusan pemerintah kota justru diperkuat, dan para penentang membawanya ke peradilan lebih tinggi di negara bagian itu, yaitu Victorian Court of Appeal.
Menurut Heri, dia cukup khawatir dengan misinformasi yang disebarkan kelompok penentang ini.
"Menentang sistem dan aturan hukum Australia, bukanlah cara Australia. Agresi dan kekerasan bukanlah cara Australia," ujarnya.
Saat ini, warga Muslim Bendigo menggunakan salah satu ruangan di kampus La Trobe University yang menampung sekitar 50 jamaah, sedangkan untuk shalat Jumat mempergunakan ruangan yang sedikit lebih besar dengan kapasitas 70 jamaah.
Menurut Heri, warga Muslim setempat berkisar 300 orang dari 25 latar belakang asal kebangsaaan mereka.
ABC mencoba meminta tanggapan dari juru bicara Rights for Bendigo Residents, namun yang bersangkutan tidak bersedia diwawancarai.
Heri sendiri mengaku tidak pernah dihubungi oleh kelompok itu. "Kami siap menjawab semua pertanyaan yang masuk akal," katanya.
Tim McIntyre dari B&B Basil, yang memiliki lahan pertanian persis di depan lokasi rencana masjid tersebut, mengatakan dia menerima keputusan pemerintah kota yang mengajukan syarat mengenai tempat parkir, lalu lintas dan kebisingan.
"Saya tidak ingin terbangun jam 6 pagi, namun selain hal itu serta masalah parkir, saya kira sudah tidak ada masalah," kataMcIntyre.
"Ini hanya tempat ibadah dan tidak masalah sepanjang pemerintah memberlakukan sejumlah syarat bagi mereka," katanya.
"Saya penasaran saja, kalau misalnya ini kuil Budha, apakah ada orang yang akan keberatan. Sekali bangunan itu jadi, semua masalah akan tenggelam," tambahnya.
Pada Jumat (18/9) Cox mengatakan ia mempertimbangkan menjatuhkan sanksi berupa denda hingga 350 dolar (Rp 3,5 juta) bagi setiap perilaku tidak pantas di balai kota.
Para pejabat pemerintah Bendigo bersama CEO-nya, Craig Niemann, menggelar jumpa pers yang mengutuk aksi protes segelintir warga anti-Islam. Para pejabat ini juga secara terbuka mengukuhkan kembali dukungan mereka bagi pembanguna masjid di kota itu.
Menurut Niemann, pihaknya mencoba menegakkan peraturan setempat mengenai cara menghadapi orang yang membuat keributan dalam rapat pemerintah kota.