REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Prof Dr. Din Syamsuddin mengatakan, dampak kabut asap di sejumlah daerah, terutama di Sumatera dan Kalimantan, sudah darurat untuk segera ditangani. Kritik keras terhadap penanganan dampak kabut asap dari beberapa pihak sudah banyak dilontarkan, tapi belum memberikan hasil nyata.
"Negara harus hadir dalam bencana ini, bahkan mungkin harus disebut sebagai bencana nasional,"kata Din di Kota Malang, Jumat (9/10).
Din mengatakan, hal ini bukan serta merta karena malu dengan negara lain. Namun bencana ini sudah menelan banyak korban. Karena itu negara harus bersikap tegas atas bencana ini. Menurutnya, harus ada regulasi untuk korporasi terutama asing yang melarang eksplotasi di lingkungan hutan.
"Karena hal ini kan setiap tahun terus terjadi, yang harusnya selesai, saya mendapat data penyebab kebakaran, ada memang peladang tradisional yang suka membakar dan juga mungkin oleh regulasi seluas 2 hektar yang bisa dikendalikan, koorporasi-koorpoasi sawit khususnya yang menyebabkan kebakaran ini," kata Din.
Din mengatakan, koorporasi yang memiliki andil dalam menciptakan kebakaran harus segera dicabut izinnya dan ditangkap. Ia berharap tidak ada kompromi dengan korporasi-korporasi tersebut.
Ia menambahkan pemerintah tidak bisa secara tradisional untuk menghentikan kebakaran ini. Maka penegakan hukum harus ditegakan. Agar tidak terulang lagi kebakaran hutan di Indonesia.
Din menjelaskan Indonesia sudah menjadi negara penyumbang polusi nomor enam di dunia. Ia menambahkan ada kemungkinan karena kebakaran di Kalimatan dan Sumatra ini Indonesia menjadi naik di urutan empat atau tiga.
"Dan jangan lupa korbannya, yang terjangkit ISPA di Sumatra sana sudah puluhan ribu," kata Din.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, Riau, menyatakan kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan yang menyelimuti sejumlah wilayah di Riau terus memburuk yang mengakibatkan jarak pandang hanya 50 meter.