REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mekanisme pelaksanaan asuransi pertanian butuh pengawasan ketat dibarengi sejumlah evaluasi. Sebab, penyaluran dana rentan salah sasaran di mana dana ganti rugi mengalir ke para pemilik lahan sawah yang notabene kaya raya.
"Padahal seharusnya yang menerima petani penggarap, mereka yang benar-benar susah payah menggarap sawah," kata Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa pada Jumat (9/10).
Di sejumlah negara, lanjut dia, asuransi pertanian lebih berfokus kepada perlindungan harga hasil pertanian. Teknisnya, pemerintah menetapkan harga yang mendatangkan profit bagi petani.
Contoh, untuk harga komoditas tertentu yang menguntungkan petani secara normal Rp 9 ribu. Ketika panen berlimpah, harganya jatuh di harga Rp 4 ribu. Di sanalah kemudian pemerintah hadir mengganti harga Rp 5 ribu sehingga petani tetap memeroleh harga jual Rp 9 ribu.
Di sisi lain, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir mengaku belum paham soal pelaksanaan asuransi pertanian. Pada dasarnya, ia lega akhirnya asuransi benar-benar diselenggarakan.
Sedikitnya akan menjamin petani ketika terjadi gagal panen. Namun, belum ada sosialisasi bagaimana pelaksanaannya, pun teknis pengajuannya. "Kita pada dasarnya mau saja membayar premi, tapi belum tahu bagaimana teknisnya," ujarnya.