REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk pertama kalinya, dalam peradaban Islam, beberapa makanan yang sebelumnya hanya tersedia di istana bisa dinikmati seluruh penduduk. Nutrisi telah berkembang menjadi terapi dan meningkatkan kesehatan warga sesuai dengan lingkungan dan musim.
Di kalangan aristokrat Eropa, permintaan bahan makanan dan rempah-rempah Muslim meningkat pesat. Rakyat biasa, terutama di Eropa Utara, hanya memiliki jenis makanan yang terbatas. Biasanya, mereka hanya mengonsumsi daun bawang, bawang, kubis, apel dan roti. Sesekali mereka makan daging atau ikan.
Di sisi lain, orang-orang Eropa Selatan memiliki kehidupan yang agak lebih baik dengan salad yang terdiri atas berbagai macam buah dan sayuran. Mereka mengenal minyak untuk menggoreng, keju, dan makanan penutup yang manis.
Kalangan aristokrat Eropa membenci penggunaan sayuran. Mereka terutama mengonsumsi daging. Tak heran, banyak yang menderita asam urat.
Munculnya permen, selai, dan manisan menciptakan masalah lain, yakni sembelit. Dari kisah Paus di Avignon, pada abad ke-14, sebuah perahu dari Beirut membawa selai, makanan awetan, tepung khusus untuk membuat kue dan obat pencahar.
Namun, ada satu raja Eropa yang mengonsumsi makanan Muslim dengan mengimpor produk mahal dan buah-buahan. Dia adalah Ratu Cristina, pemimpin Denmark, Swedia, dan Norwegia.
Sang ratu berpisah dari suaminya pada 1496 dan harus hidup dengan anggaran yang ketat. Dia bahkan berpuasa lebih lama dari yang diputuskan gereja untuk menghemat uang. Dia rela berpuasa hanya untuk membeli komoditas langka dari negeri Muslim. Dari cerita ini, muncul dugaan bahwa asal-usul kue-kue kering Denmark yang kondang itu terinspirasi dari kebiasaan Ratu Christina ini.
Urutan penyajian makanan yang dimulai dari makanan pembuka, makanan utama, dan penutup juga merupakan tradisi Muslim yang dibawa ke Eropa. Gagasan tersebut ditemukan Rhazes dan Ibn Zohr. Makanan pembuka biasanya terdiri atas sup atau salad. Acara makan diakhiri dengan mencuci tangan di meja dengan air mawar.