REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Ani Nursalikah
Dalam pemerintahan kerajaan imperium Arab yang baru, otoritas umum berada di tangan para panglima Arab. Sedangkan, pemerintahan sipil berada di tangan penguasa setempat.
Kebanyakan komunitas rakyat diizinkan berada di bawah hukum yang mengatur mereka. Karena Muslim dibebaskan dari pajak yang dikenakan pada warga taklukan, masuk Islamnya warga non-Muslim sebenarnya tidak didorong karena bisa mengurangi pendapatan.
Pos-pos militer tumbuh menjadi kota. Orang Arab yang jauh dari rumah memperoleh tanah setempat dan Muslim diizinkan memiliki istri non-Muslim.
Proses perataan ini memiliki efek perluasan. Islam menjadi lebih menarik bagi orang luar karena kedudukan sosial yang tinggi dan kebebasan ekonomi yang diberikannya.
Keberagaman yang meningkat pada gilirannya membuat pengetahuan Arab kian beragam seiring rakyat taklukan mendidik tuan penguasa mereka. Hal ini berlangsung di setiap cabang ilmu pengetahuan dan seni.
Dalam arsitektur, misalnya, istana negara dihiasi dengan gaya campuran Yunani, Persia, dan Suriah yang juga memengaruhi pembangunan masjid.
Bahkan, bidang-bidang yang sakral, seperti teologi dan hukum Islam, juga terpengaruh. Walaupun aturan itu secara fundamental bersifat religius, undang-undang mengenai perpajakan, perdagangan, keuangan, dan wilayah lain mencerminkan praktik Bizantium yang sudah ada.
Dinasti Umayyah di Damaskus dimulai setelah Khalifah Ali bin Abi Thalib meninggal dunia akibat dibunuh. Di bawah Dinasti Umayyah, derap penaklukan terus berlanjut.
Keunggulan pasukan laut dibangun di Mediterania timur, beberapa inovasi administrasi, termasuk sistem pos di seluruh kerajaan.