REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hariadi Kartodiharjo memaparkan sistem penghitungan kerugian negara di sektor kehutanan hingga mencapai Rp 11,7 triliun per tahun. Kerugian tersebut berasal dari nilai komersial kayu yang tidak tercatat. Dari hasil kajian, diharapkan ada tindaklanjut soal perbaikan tata kelola hutan.
"Menurut statistik resmi, produksi kayu komersial dari hutan alam Indonesia secara keseluruhan mencapai 143,7 juta meter kubik," katanya mengawali pemaparan pada acara Diskusi Bersama bertajuk "Menggugat Kerugian Negara di Sektor Kehutanan" pada Kamis (15/10). Jumlah tersebut merupakan produksi sepanjang periode 2003-2014.
Dari produksi tersebut, sebanyak 60,7 juta meter kubik dipungut oleh pemegang izin HPH melalui sistem tebang pilih. Sementara 83,0 juta meter kubik merupakan hasil pembukaan lahan untuk hutan tanaman industri, perkebunan sawit serta pertambangan.
Kajian dan penelitian lantas menemukan, produksi yang tercatat ternyata jauh lebih rendah dari pada volume kayu yang ditebang dari hutan alam Indonesia. Hasil dari model kuantitatif kajian menunjukkan, total produksi kayu yang sebenarnya selama 2003-2014 mencapai 630,1-772,8 juta meter kubik.
"Angka tersebut mengindikasil statistik KLHK hanya mencatat 19-23 persen saja dari total produksi kayu selama periode studi. "Sisanya tidak tercatat dan menimbulkan kerugian," katanya.
Selama 2003-2014, lanjut dia, pemerintah memungut PNBP dengan anggaran agregat sebesar 3,26 miliar dolar AS atau Rp 31,0 triliun. Dana tersebut berasal dari Dana Reboisasi dan Provisi Sumber daya hutan. Namun menurut model penghitungan dalam kajian, pemerintah seharusnya memungut penerimaan agregat sebesar Rp 93,9 hingga 118,0 triliun.