REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Kantin Berzeit University, Palestina, telah kosong. Ehab Iwidat (20 tahun) bersandar di kursi sambil menyesap botol air mineral. Serangan flu tak menghentikan langkahnya menghadiri demonstrasi melawan Israel di Tepi Barat.
“Ini pertama kalinya kami lihat setelah waktu yang lama. Saya menyaksikan orang tua muda, laki perempuan, protes di jalan bersama-sama. Anda juga dapat melihat orang kaya turun bersama orang miskin,” kata Iwidat, dilansir dari Al Jazeera, Ahad (18/10).
Laiknya anak-anak Palestina Generasi Oslo, mereka hanya punya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali memori tentang intifada sebelumnya di Palestina. Iwidat hanya tahu, dia selama ini hidup di bawah pendudukan sebagai warga negara kelas dua.
Menurut dia, pembatasan Israel terhadap kebebasan dan hak-hak rakyat Palestina di Tepi Barat, pelecehan dari pemukim Yahudi, dan prospek suram kesepakatan damai Israel-Palestina telah mendorong warga Palestina turun ke jalan-jalan dalam beberapa pekan terakhir.
Protes melanda Yerusalem, Jalur Gaza, dan Tepi Barat. Puluhan ribu warga Palestina turun ke jalan. Pria wanita dari segala usia bergabung dengan gerakan ini. Dalam beberapa kasus, demonstrasi berlangsung damai. Pengunjuk rasa berkumpul meneriakkan slogan menuntut solidaritas untuk melawan pendudukan Israel.
Namun, di beberapa tempat, aksi protes lain telah berujung kekerasan. Militer Israel meluncurkan gas air mata dan peluru karet berlapis baja, yang dibalas dengan lemparan batu dan bom ke arah tentara Israel. Gerakan ini memberi sinyal bahwa Palestina telah berada di ambang, atau bahkan sudah memasuki, intifada baru.
Ketegangan telah mendidih di Yerusalem akibat ‘rencana Israel men-Yahudi-kan kota’. Kampanye kelompok sayap kanan Israel menyerukan supaya umat Yahudi juga boleh berdoa di Masjid Al Aqsa. Selama beberapa hari kemudian, kelompok-kelompok ekstremis Yahudi memasuki situs itu di bawah perlindungan pasukan keamanan Israel.
Hal ini segera menimbulkan kekhawatiran di kalangan warga Palestina. Pemerintah Israel disinyalir sedang mempersiapkan diri untuk mengubah aturan akses Al Aqsa dalam jangka panjang.
“Saya tidak hanya melihat Al Aqsa sebagai simbol agama. Ini simbol budaya. Simbol dari warisan dan identitas Palestina kami. Ini adalah tempat yang benar-benar penting bagi rakyat Palestina di Jerusalem dan di luar Jerusalem,” ungkap Hala Marshood (24 tahun), seorang aktivis politik di Yerusalem.
Pria itu telah memiliki pengalaman bertahun-tahun sebagai seorang aktivis. Ia berhubungan dengan para aktivis lain di Israel, Tepi Barat, dan Gaza lewat jejaring media sosial.