REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Para pelaku usaha mikro masih banyak yang kesulitan mendapatkan pinjaman dari perbankan. Padahal, mereka butuh akses permodalan untuk memajukan usahanya. Masih tertutupnya akses perbankan bagi para pelaku usaha mikro tersebut, seperti yang terjadi di daerah Boyolali, Jawa Tengah.
Direktur Utama Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI) Djakfarudin Junus mengatakan, saat melakukan kunjungan kerja dalam rangka perayaan HUT RI ke-70, banyak pelaku usaha mikro yang berkeluh kesah kepadanya.
”Uluran tangan pemerintah dan BUMN sangat mereka butuhkan. Para pengrajin dan pelaku usaha mikro ini menjalankan usahanya di tengah segala keterbatasan, untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” kata Djakfarudin, Sabtu (7/11).
Djakfarudin menuturkan, pelaku usaha mikro seperti pengrajin sapu ijuk dan sapu lidi di Boyolali butuh pendampingan dan akses terhadap permodalan. Mereka hanya pernah mendapat pelatihan dari pemda setempat dua puluh tahun silam. Kini, mereka membuat produknya sesuai inisiatif dan imajinasi masing-masing, tidak ada standardisasi.
Para pengrajin tersebut sudah berkali-kali mengajukan pinjaman modal ke bank, tapi selalu ditolak. Akhirnya pinjam dari lembaga keuangan nonformal yang bunganya besar. ”Kondisi itu sangat menghambat kemajuan para pengrajin,” ujarnya.
Kendala yang tak jauh beda dialami para pemerah susu sapi di Boyolali. Mereka butuh bimbingan dan suntikan modal untuk mengembangkan usahanya. Hingga kini, tak ada lembaga keuangan bank maupun non bank yang bersedia memberikan pinjaman modal.
Pada kesempatan tersebut, PNRI memberikan bantuan berupa mesin genset yang diharapkan bisa menjadi alternatif untuk sumber energi dalam menjalankan usaha.