REPUBLIKA.CO.ID, TAIPE -- Ratusan pengunjuk rasa yang marah berkumpul di luar kantor Presiden Taiwan Ma Ying Jeou, Sabtu (7/11), mengutuk pertemuannya dengan Presiden Cina Xi Jinping yang telah menimbulkan kekhawatiran demokratisasi di kepulauan dilindas oleh raksasa Cina.
Pembicaraan kedua kepala negara itu dipuji sebagai momentum bersejarah untuk mengakhiri permusuhan selama beberapa dekade antara kedua belah pihak setelah perang sipil, namun memicu reaksi dari rakyat Taiwan yang curiga atas pemulihan hubungan yang diprakarsai Ma.
Para demonstran yang marah mencoba berunjuk rasa di gedung parlemen sepanjang malam dan 27 orang diamankan di bandar udara, Sabtu, sebagai tempat pemberangkatan Ma menuju tempat pertemuan dengan lawannya dan menganggap Ma menjual diri kepada Beijing yang ingin memperluas pengaruhnya.
Kemudian lebih dari 500 pengunjuk rasa mewakili beberapa kelompok termasuk petani, aktivis HAM, dan aktivis lingkungan, berkumpul di hotel Singapura tempat Ma bertemu Xi dan mereka sudah "merasa seperti teman-teman".
"Bagaimana bisa dia... tanpa beberapa negosiasi menuju pertemuan dengan pemimpin yang menjadi musuh kami? Saya percaya ini berada pada level pengkhianatan," kata Wakil Ketua Taiwan Association of University Professors, Lin Hsiu Hsin.
Para pemimpin pengunjuk rasa marah atas komentar Xi bahwa kedua belah pihak 'satu keluarga' dan tidak pernah dapat dipisahkan, mengacu pada posisi Cina daratan yang tidak berubah bahwa Taiwan adalah provinsi terpisah yang menunggu reunifikasi.
"Xi Jinping mengatakan kita termasuk bagian dari satu Cina. Dapatkah kamu menerimanya?" teriak Lee Ken Cheng dari kalangan Partai Hijau yang skeptis terhadap Beijing. "Tidak!" jawab massa pengunjuk rasa.