REPUBLIKA.CO.ID, Gambaran para ibu yang ramai-ramai menangis di pinggiran sebuah kampung di pedalaman Aceh Utara kembali berkelebat ketika kemarin (15/11) di Banda Aceh digelar acara peringatan perdamaian Aceh. Tak sadar, sudah hampir satu dasawarsa peritiwa berlalu.
"Mengapa senjata yang mahal dan kami beli secara urunan dipotong-potong begitu,’' kata para ibu yang menonton acara pemotongan senjata sebagai awal ditandatanganinya perjanjian damai di Aceh, hampir sepuluh tahun silam. Mereka menangis 'cukup serius' dan ‘alamiah'. Mukanya sembab, air matanya bercucuran membasahi wajahnya.
Berulang kali mulut mereka mengatakan, tak terima bila senjata itu dipotong—sebagian besar, di antaranya, merupakan senjata serbu jenis AK 47—menjadi tiga bagian. "Ini menyakitkan. Bagaimana nanti kalau perjanjian damai diingkari. Dengan apa kami akan melawannya,’’ tukas para ibu tersebut.
Memang, semenjak tengah hari, dari arah pinggiran kampung para ibu dan penduduk desa lainnya telah menunggu digelarnya acara pemotongan senjata milik pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Prosesi tersebut digelar di sebuah lapangan terbuka bekas persawahan. Para warga telah lama bersiap menyaksikannya dari arah tepiah kampung yang penuh dengan tumbuhan pohon kelapa. Perkampungan yang sehari-harinya sunyi dan letaknya terpencil di pinggiran hutan serta perbukitan saat itu ramai disesaki kerumunan aneka ragam manusia.
Menjelang pukul 14.30 WIB, dari arah langit sebelah utara dan dari sela perbukitan muncul sebuah helikopter. Setelah berputar-putar sejenak, pesawat itu pun mendarat di sebuah landasan darurat yang letaknya tak jauh dari area upacara tersebut.
Beberapa orang bule kemudian terlihat turun dari pesawat. Bersamaan dengan itu tampak pula combatan GAM yang di kemudian hari menjabat Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Dia terselinap di antara kerumunan para bule dan pejabat pemerintah Indonesia itu. Tak lama kemudian pemotongan senjata dikerjakan. Bunyi gergaji pemotongan baja senjata kemudian terdengar berderit-derit.
‘’Sebagian senjata banyak yang masih baru. Itu terlihat karena warnanya masih terjaga dan mengkilat,’’ kata seorang lelaki desa yang mendatangi para ibu setelah melihat dengan cara mendekati langsung ke acara pemotongan senjata.
Mendengar perkataan itu, isak tangis yang sempat mereda menjadi keras kembali. Air mata dari kaum ibu warga desa bercucuran kembali. Semua orang yang melihatnya pun menjadi trenyuh. Dan sama halnya dengan arena pertempuran, ajang perdamaian yang seperti itu pun kerapkali ditandai dengan tangis dan derai mata.
Maka di situlah perdamaian menjadi terasa mahal. Bahkan sangat mahal...!