Kamis 03 Dec 2015 16:58 WIB
Ini Memorial KH Slamet Effendy Yusuf

Kisah Politikus Nahdliyin Paripurna

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang kerukunan antarumat beragama sekaligus ketua panitia Slamet Effendy Yusuf saat menjelaskan pada konfrensi pers persiapan penyelenggaraan
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang kerukunan antarumat beragama sekaligus ketua panitia Slamet Effendy Yusuf saat menjelaskan pada konfrensi pers persiapan penyelenggaraan

REPUBLIKA.CO.ID, ‘’Kenapa Slamet tak jadi menteri?’’ Pertanyaan mendiang ayah saya langsung terngiang kembali ketika mendengar KH Slamet Effendy Yusuf wafat di Bandung semalam. Saat itu KH Abdurrahman Wahid naik ketampuk kekuasaan menjadi presiden menggantikan BJ Habibie, baru saja usai mengumumkan posisi kabinet.

‘’Lho kan di NU? Kenapa dikasih jabatan itu kepada orang lain? Slamet pantas dan mumpuni jadi menteri?,’’ ujarnya kembali. Selaku salah ‘satu santri tak langsung’ ayahanda Slamet Effendy, KH Yusuf, sosok dia memang selalu diperhatikan. Terkesan ayah bangga pada kiprahnya. Dia bertanya soal ini karena kala itu saya meliput berita politik dan ngepos di Gedung Parlemen Senayan.

Pertanyaan itu tak langsung bisa dijawab. Saat Itu saya hanya jawab sekenana:’’Slamet itu orang Golkar. Gus Dur orang PKB.’’  Beberapa tahun kemudian, konfirmasi soal ketidakberhasilan Slamet duduk di kursi menteri terjawab melalui pernyataan mantan Ketua GP Anshor yang kini menjadi anggota Komisi VIII DPR RI, Khatibul Umam Wiranu.

 ‘’Ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden saya sempat tanya mengenai posisi Mas Slamet yang tidak menjadi menteri meski dia seorang politisi NU  mumpuni. Gus Dur menjawab: lho Akbar (Ketua Umum Partai Golkar) tidak mengajukannya sebagai menteri. Malah dia mengajukan orang lain,’’ kata Khatibul.

Namun, meski Slamet tak sempat mencicipi jabatan menteri, tapi tampaknya membuat dia tak patah arang. Bahkan kiprahnya semakin menjadi dan terus melangkah semakin jauh semenjak dia mengawalinya melalui posisi Ketua GP Anshor di awal pertengahan 80-an hingga pertengahan 90-an.

’’Memang susah banget jadi menteri ya kang,’’ kata kepada saya dengan dialek Jawa Banyumasan yang khas. Pemakaian kata ‘Kang’ dalam hal ini identik dengan sapaan akrab sekaligus rasa rendah hati, meski Slamet berusia jauh lebih tua dari lawan bicaranya.

Sebagai politisi gaya bicara Slamet memang serba terkontrol. Di tengah perdebatan kerapkali dia berusaha melucu untuk mengurangi ketegangan. Dan tak lupa di selalu menyelipkan kaidah dan nilai Islami. Salah satu contohnya adalah ketika menyindir pihak atau penguasa yang hanya mau menang sendiri (otoriter).

 ‘’Janganlah sombong. Di atas langit masih ada langit. Jangan mengambil sifat Allah: ya’lu wala yu’la alaih (tinggi yang tidak bisa disamai ketinggiannya),’’ katanya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement