REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai tokoh umat Islam, almarhum KH Slamet Effendi Yusuf dikenal sebagai sosok yang berpikir jernih, tenang, dan inklusif. Kepergiannya pun membuat para kerabatnya merasa kehilangan, termasuk bagi Ahmad Syafii Maarif.
Pria yang akrab dipanggil Buya Syafii telah cukup lama mengenal almarhum sebagai seorang sahabat, politikus Golkar, dan sebagai tokoh umat Islam. "Pembelaannya kepada masyarakat yang termarjimalkan oleh pola pembangunan nasional beberapa kali saya dengar dengan penuh perhatian," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (3/12).
Buya Syafii mengatakan kepergian almarhum secara mendadak telah meninggalkan rasa duka yang mendalam baginya. Tentu demikian juga bagi pihak lain yang mengenal almarhum. "Semoga Allah menerima segala amal baiknya dan memaafkan segala kekurangannya sebagai manusia biasa," kata dia.
(Baca Juga: PBNU Gelar Tahlilan untuk Slamet Effendy Yusuf).
Slamet dibesarkan dalam lingkungan santri. Ini membuatnya kala itu tumbuh menjadi salah satu pemimpin muda Islam. Seperti saat menjalankan pendidikan di Madrasah Mualimin Al-Hidayah, ia aktif dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Saat duduk di bangku kuliah, ia aktif dalam PMII dan Dewan Mahasiswa IAIN Jogjakarta. Sampai setamatnya dari bangku kuliah, ia aktif di Gerakan Pemuda Ansor, Organisasi Pemuda Nahdlatul Ulama.
Setamatnya dari Madrasah Mualimin, ia sempat melanjutkan di Fakultas Tarbiyah di kotanya Purwokerto, namun hanya selama dua bulan. Kemudian ia pindah ke Yogyakarta (1968) masuk Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga. Ketika kuliah, selain menjadi Ketua Dewan Mahasiswa (1973-1975), waktunya banyak digunakan untuk aktivitas di PMII dan Gerakan Pemuda Ansor, organisasi pemuda Nahdlatul Ulama (NU).
Pada 1972, ia dipilih menjadi Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Yogyakarta. Ia menjadi motor perubahan yang memperjuangkan agar PMII sebagai gerakan mahasiswa menjadi organisasi yang independen dari struktur Partai NU sebagaimana dirumuskannya dalam Deklarasi Murnajati.