REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih hangat dalam ingatan kejahatan mengerikan yang dilakukan terhadap penduduk sipil selama Perang Dunia Kedua, pada 10 Desember 1948. Tanggal yang kemudian diadopsi Majelis Umum PBB sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Dilansir dari Voice of America, Kamis (10/12), kala itu salah satu arsitek utama ditetapkannya Hari Hak Asasi Manusia Internasional, Eleanor Roosevelt, mengemukakan pendapat jika kondisi dunia kontemporer membutuhkan perhitungan perlindungan tertentu. Ini dimaksudkan agar setiap individu mendapatkan rasa aman dan martabat bagi diri mereka sendiri.
Sejak 1950, PBB telah menetapkan 10 Desember sebagai Hari HAM. Hari ini juga banyak dikenal karena penghargaan Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia. Namun, peringatan ini melebarkan fokus kepada berbagai tema HAM yang terjadi di seluruh dunia.
Pada tahun ini, Hari HAM Internasional akan menandai dan evaluasi selama 50 tahun dalam dua aspek. Pertama, Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kedua, dokumen diadopsi Majelis Umum PBB pada 16 Desember 1966.
Diharapkan semua pihak dapat bekerja sama sebagai sebuah komunitas bangsa untuk mengakhiri pelanggaran HAM. Pada akhirnya, tujuan yang hendak dicapai adalah mengubah 10 Desember untuk tidak lagi menyoroti pelanggaran HAM di seluruh dunia, melainkan peringatan realisasi HAM secara penuh dan tidak terhalang untuk semua orang.