Sabtu 26 Dec 2015 16:08 WIB

Puncak Tahmid Seorang Hamba

zikir
Foto: rep
zikir

Oleh: Nasaruddin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan ulama tasawuf membagi maratib tahmid ke dalam empat tingkatan (al-maratib al-arba'a li al-hamd).

Pertama, al-hamd al-mahabbah, yaitu pujian dalam bentuk ketulusan cinta dan respek yang sangat mendalam dari sang salik. Begitu dekatnya dengan Tuhannya seolah-olah ia menyaksikan langsung Tuhannya dan membuatnya tidak lagi tertarik kepada makhluk karena sudah bisa menyaksikan langsung Sang Khaliq. Inilah disebut dengan kesempurnaan pujian (al-hamd al-kafiyah).

Kedua, al-hamd al-syukr, yakni pujian yang dilakukan olah hamba dengan penuh kesadaran bahwa apa pun yang diberikan Allah SWT harus disyukuri sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan syariah. Misalnya seseorang yang mendapatkan rezeki berupa harta kekayaan ia wajib mengeluarkan zakat, infak, wakaf, dan sedekah.

Hatinya akan lega dan tenang serta bahagia setelah mengeluarkan kewajiban yang melekat pada nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Logikanya, jika nikmat dan karunia itu tidak dirasakannya maka pujian dan rasa syukur kepada Tuhannya dengan sendirinya berkurang.

(Baca: Bedanya Tahmid Orang Awam dan Khawas)

Ketiga, al-hamd al-tijarah, yakni pujian  yang bersifat pragmatis, pujian yang bertujuan untuk memohon perlindungan dari Allah SWT dari siksa neraka, dan sekaligus sebagai penolak berbagai bala dan pencana sekaligus untuk mengundang kehadiran nilai tambah dari karunia yang sudah diterima sebelumnya.

Disebut pujian tijarah (dagang) karena seolah-olah menempatkan dirinya sebagai "pembeli" dan Tuhan sebagai "kasir". Yang bersangkutan selalu berusaha menabung amal (spiritual saving) agar saldo saving-nya nanti melindunginya dari berbagai kemudharatan.

Keempat, al-hamd al-'ubudiyyah, yakni pujian kehambaan. Ia merasakan dirinya sebagai hamba yang kecil dan memiliki banyak kelemahan, dosa, dan maksiat. Ia berusaha selalu memuji Tuhan sebagai Malik yaum al-din (Pemilik dan Penguasa hari pembalasan).

Hanya dengan selalu memuji Allah SWT maka perasaannya akan tenang, karena ia yakin Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang ketimbang sebagai Tuhan Maha Penyiksa dan Maha Penghukum.

Puncak tahmid seoarang hamba ialah tahmid yang pertama, dan itulah tahmid orang-orang khawas. Kebahagiaan yang luar biasa para salik manakala mampu mempersembahkan pujian puncak kepada Tuhannya. Ia tidak lagi mengenal hitung-hitungan dengan Tuhannya, karena ia sudah yakin ia tidak memiliki apa pun, termasuk tidak memiliki dirinya sendiri.

Karena itu, orang ini memuji Tuhannya sama sekali tanpa pamrih. Karena ia tidak pernah merasa memiliki apa pun maka ia juga tidak pernah merasa kehilangan apa pun. Bagi yang bersangkutan tidak lagi ada bedanya antara kenikmatan dan musibah. Jika yang datang kenikmatan ia bersyukur dan jika yang datang musibah ia bersabar. Orang-orang seperti inilah yang disebut dalam Alquran dengan pemilik puncak keikhlasan (al-mukhlashun), yang bebas dari iblis (QS al-Hijr [15]:39-40).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement