REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Ketegangan yang terjadi antara produsen minyak utama Arab Saudi dan Iran membuat harga minyak naik tajam pada perdagangan hari pertama 2016. Ini akibat adanya gangguan pasokan.
Patokan harga minyak mentah di pasar Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI) light sweet crude naik 1,7 persen di 37,69 dolar AS per barel. Sementara patokan harga minyak mentah di pasar Eropa, Brent, naik 1,9 persen di 37,99 dolar AS per barel.
Analis senior minyak dan gas Bernstein, Neil Beveridge mengatakan, ketegangan yang meningkat antara dua produsen OPEC membuat masalah bagi investor. Sebab, produksi minyak Arab paling banyak berasal dari provinsi timur yang didominasi Syiah. "Ini adalah daerah yang berpotensi menderita jika ada eskalasi ketegangan antara Arab Saudi dan Iran," katanya kepada CNBC, Senin (4/1).
Harga minyak tahun lalu babak belur, meluncur lebih dari 40 persen karena melimpahnya pasokan. Meski ada kekhawatiran pasokan yang lebih besar pada 2016 karena Iran yang diperkirakan akan melanjutkan ekspor setelah pencabutan sanksi Amerika Serikat (AS), risiko ini merupakan masalah jangka panjang. Kekhawatiran lebih kepada konflik geopolitik yang mendominasi pergerakan harga. Sementara kapasitas cadangan minyak mentah dunia terbatas pada dua juta barel per hari.
Arab Saudi memproduksi sekitar 10 juta barel minyak per hari. Sedangkan produksi Iran sekitar tiga juta barel minyak per hari. Sehingga setiap pasokan atau gangguan pengiriman berpotensi memiliki dampak signifikan pada pasar.
Gangguan pasokan di Arab Saudi dan Iran bisa datang pada waktu yang sama seiring melambatnya produksi minyak negara produsen lainnya. Sementara AS yang mengekspor minyak mentah untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, produksinya cenderung menurun karena penurunan belanja modal perusahaan minyak di tengah turunnya harga minyak.
Pemasok lain non OPEC, Rusia, juga melihat pertumbuhan yang terbatas pada tahun ini karena pemotongan belanja modal. "Kami mungkin melewati masa puncak dalam pertumbuhan pasokan non OPEC," ujar Beveridge.