Kamis 07 Jan 2016 01:20 WIB

Teliti Dampak Perubahan Iklim, CSIRO Luncurkan Robot Laut di Perairan Terpencil

Red:
Ilmuwan CSIRO yang akan melepaskan robot laut bio-Argo ke Samudera Hindia fi pesisir Perth tengah bersiap untuk melakukan pelayaran ilmiah selama 2 bulan.
Foto: abc
Ilmuwan CSIRO yang akan melepaskan robot laut bio-Argo ke Samudera Hindia fi pesisir Perth tengah bersiap untuk melakukan pelayaran ilmiah selama 2 bulan.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Tim peneliti Australia akan berlayar ke salah satu kawasan paling terpencil di bumi dalam rangka melepas robot yang akan digunakan untuk kepentingan penelitian iklim.

Tim peneliti dari lembaga riset ternama Australia, CSIRO ini berencana meluncurkan robot mengapung didekat Kepulauan Heard dan McDonald Islands (HIMI), di kawasan pesisir Australia Barat. Robot akan mengukur berapa banyak karbon yang mengendap didasar laut.

Ini bukan perjalanan yang mudah karena pelayaran yang akan diberangkatkan dari Perth ini akan menempuh perjalanan sejauh  9000 kilometer ke Hobart melalui Antarctic HIMI selama lebih dari dua bulan.

Sekitar 40 orang ilmuwan akan ikut dalam pelayaran yang menggunakan kapal riset senilai 120 juta dolar Australia yang akan berlayar menempuh kawasan dengan kondisi berlayar paling buruk di dunia dimana ketinggian ombak bisa mencapai 16 meter.

Di sepanjang perjalanan, tim peneliti ini akan menjatuhkan sejumlah bio-Argo mengapung - robot laut - yang akan membantuk peneliti mempelajari gunung api dibawah laut yang masih aktif.

Robot laut ini akan mengukur dalam skala besar perubahan kimia dan biologi dari ekosistem laut yang terdapat di dasar Samudera Hindia.

Robot ini bisa menyelam hingga kedalaman 2 kilometer dan bisa secara langsung mengirimkan data bilogi melalui satelit, 4 kali sehari.

Satu robot laut ini terdiri dari 3.600 jaringan sensor yang bisa mengambang dengan bebas dan dapat beroperasi di wilayah laut terbuka untuk menyediakan data real-time mengenai suhu laut dan tingkat keasaman atau salinitas.

 

Begitu juga dengan  tingkat suhu dan pH, sensor ini  juga mampu menangkap jumlah oksigen terlarut, nitrat, klorofil, bahan organik dan hamburan partikel.

 

Peneliti CSIRO akan menggunakannya untuk melihat berapa banyak karbon dioksida dari bahan bakar fosil yang mengendap  di dasar laut, ditangkap dan dibawa turun dari atmosfer oleh ganggang atau fitoplankton.

 

Kawasan yang dituju tim ilmuwan ini merupakan area pertemuan antara perairan Antartika dengan Samudera Hindia yang menjadi hotspot algae.

Peneliti CSIRO,  Nick Hardman-Mountford mengatakan hasil dari penelitian ini akan menunjukan berapa peningkatan kadar Karbon Dioksida yang mempengaruhi samudera.

"Dengan memahami bagaimana algae menyerap Karbon Dioksida dari atmosfir amat penting bagi kita dalam memahami perubahan iklim dan bagaimana lautan memainkan peranan dalam memindahkan karbon dioksida dari atmosfir," katanya.

Dr Hardman-Mountford  mengatakan memahami perubahan yang terjadi pada algae di lautan penting karena algae memainkan peranan penting bago ekosistem laut dan juga tingkat oksigen di bumi.

"Satu dari dua tarikan nafas yang kita lakukan berasal dari phytoplankton, jadi memahami bagaimana sel berukuran kecil ini tumbuh dan bagaimana mereka mengalami perubahan seiring dengan terus menghangatnya laut karena perubahan iklim menjadi sangat pentingl," katanya.

Penelitian mengenai iklim algae ini merupakan bagian dari proyek yang lebih besar mengenai gunung api bawah laut di Samudera Selatan.

Kapal penelitian ini akan berangkat Hari Kamis dari Fremantle Port. Penelitian ini memakan biaya sekitar 67 ribu dolar per hari.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement