Aktivitas Gunung Sinabung sejak dua tahun lampau belum mereda. Ia menyisakan sejumlah desa yang tak lagi berpenghuni. Wartawan Republika Issha Harruma menyambangi desa-desa tersebut dan menuliskan pengalamannya. Berikut bagian pertama dari dua tulisan.
REPUBLIKA.CO.ID -- Papan nama bertuliskan Puskemas Pembantu/BKIA Dinas Kesehatan Kabupaten Karo tergantung dengan debu tebal di dekat pintu masuk bangunan. Semak belukar setinggi paha orang dewasa lebat tumbuh mengelilinginya.
Sekitar 26 bulan yang lalu, bangunan ini masih aktif melayani warga desa Sukanalu, Naman Teran, Karo, desa yang berada sekitar 3,5 kilometer dari kaki Gunung Sinabung. Namun, saat saya menyambangi lokasi itu pada Sabtu (9/1) lalu, bangunan tak ubahnya seperti rumah yang telah ditinggalkan bertahun lamanya.
Melangkah masuk melewati semak belukar, beraneka bau datang dari berbagai penjuru ruangan Puskesmas ini. Kotoran binatang dan sarang laba-laba jadi penghias bangunan dengan dua kamar ini. Debu coklat kehitaman rata memenuhi seluruh lantai.
Puskesmas tersebut hanya satu dari puluhan bangunan terbengkalai yang ada di desa Sukanalu. Aktivitas gunung yang terus meningkat membuat warga desa ini terpaksa mengungsi. Mereka diungsikan di posko Gedung Nasional di Kabanjahe.
"Dulu ada satu bidannya, namanya Intan Boru Ginting. Tapi sejak desa ini ditinggalkan, dia juga ikut ke pengungsian. Ngelayanin di sana," kata Perhatian Sitepu, satu dari empat warga yang saya jumpai kala itu.
Selain Perhatian, tiga warga lain yang sempat berbincang dengan Republika adalah anggota keluarganya, istri, anak laki-laki yang telah bekerja dan satu anak laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Keempatnya memberanikan diri datang ke Sukanalu demi berziarah ke makam orang tua Perhatian.
Selain itu, tentu juga untuk melihat keadaan rumah yang mereka tinggalkan. "Padahal rumah ini baru tiga bulan siap (selesai dibangun), tapi udah harus ditinggalkan karena mengungsi. Sekarang kami ngontrak di Kabanjahe," ujar Perhatian.
"Krrrrrrkkk." Bunyi luncuran batu dari puncak Sinabung sesekali terdengar jelas memecah keheningan. Suaranya nyaris terdengar seperti suara perut orang kelaparan.
Menengok ke arah barat kampung ini, Sinabung tepat menjulang gagah. Dari puncaknya terlihat jelas asap putih meluncur ke bawah. Artinya, ada batu yang sedang terguling menuju kaki gunung.
"Desa ini dari 2013 bulan 11 udah ditinggalkan. Waktu itu yang parah, ada letusan sama batu kerikil. Dari situlah yang mulai ngungsi. Suaranya ini juga bikin ngeri," kata laki-laki berkumis itu.
Usai berbicang sejenak, saya meminta izin untuk mengelilingi desa seluas 1.522 kilometer persegi ini lebih jauh. Abu vulkanik berwarna putih keabu-abuan mengiringi tiap langkah menyusuri seluruh sudut desa Sukanalu. Sesekali menepuk tangan atau wajah harus dilakukan demi menghindarkan diri dari gigitan nyamuk atau sekadar mengibaskan tangan dari serangga yang hinggap.
Tak jauh dari rumah Perhatian, terdapat pula sebuah sekolah yang juga seolah telah ditinggalkan puluhan tahun lamanya. Tentu saja, lengkap dengan semak tinggi yang mengelilingi bangunan.
Seluruh siswa SD Negeri 044829 Sukanalu saat ini terpaksa harus menumpang di SD Negeri 3 yang dekat dengan posko pengungsian warga di Gedung Nasional untuk sementara waktu. Beberapa kursi dan meja serta papan tulis tampak dibiarkan begitu saja.
Kesan menyeramkan langsung menyeruak kala Republika berupaya melongok ke dalam kelas melalui jendela. Sejumlah prakarya siswa masih tertempel di dinding kelas. Lengkap dengan debu tebal dan sarang laba-laba di sudut ruangan. Pemandangan suram yang jamak ditemukan dalam film-film horor bertemakan sekolah.
Bangunan Gereja Batak Karo Potestan (GBKP) yang ada di desa ini pun tidak jauh berbeda kondisinya. Sama seperti gedung sekolah tadi, pintu gereja ini juga dikunci. Tidak ada jendela untuk menengok ke dalam. Namun, dilihat dari belukarnya semak, tebalnya debu dan papan nama yang jatuh, tergambar bahwa gereja ini juga telah lama tidak dikunjungi.
Saya pun kembali mendatangi Perhatian yang ternyata sudah berada di rumahnya. Pagar rumah berlantai dua itu tampak berkarat akibat terus terpapar abu vulkanik. Tak banyak perabotan di dalam rumah ini.
Perhatian dan keluarganya telah memboyong barang-barang berharga ke rumah kontrakannya sekarang."Ada anak-anak tanggung itu yang bongkari rumah orang sini. Anak kampung sini juga," ujarnya. "Di sini udah kena bongkar semua rata-rata karena kebanyakan nggak ditengok lagi. Kalau aku selalu meriksa dua minggu sekali."
Menurut Perhatian, kunjungannya menengok rumah selalu diakhiri paling lama pukul 18.00 WIB. Karena jika kemalaman, desa yang sudah sunyi di siang hari ini akan semakin mencekam di malam hari. "Kalau udah malam gelap kali di sini. Memang desa kami dimatikan khusus dari simpang jalan, udah enam bulan," kata Perhatian.
Dsa yang layaknya telah ditinggalkan puluhan tahun tidak hanya di Sukanalu. Desa Sigarang-garang, berjarak tiga kilometer dari kaki Sinabung, yang juga merupakan wilayah kecamatan Naman Teran, kondisinya tak jauh berbeda.
Jembatan yang putus akibat aliran lahar dingin beberapa waktu lalu membuat mobil tidak dapat memasuki desa ini. Hanya jembatan dari bambu selebar 1,5 meter yang membuat masyarakat dapat menyeberangi sungai dangkal di bawahnya dan menuju desa Sigarang-garang. "Itulah batu-batu besar banyak di sungai itu. Dari atas lah itu. Yang di belakang rumah ini juga," kata Arifin Bangun, salah satu warga saya jumpai.
Di desa ini, warga yang masih rutin berkunjung memang lebih banyak dibanding Sukanelu. Saat menyambangi desa ini, kesunyian kembali terasa. Meski ada pakaian yang tergantung di jemuran di dua rumah, namun Arifin merupakan satu-satunya manusia yang saya temui sore itu, masih di hari yang sama.
Beberapa ekor anjing masih bebas berkeliaran di kampung ini. Mereka terlihat mengais tumpukan sampah atau barang bekas lainnya. Melihat tanda kelaparan ini membuat saya sedikit waswas berada di desa tersebut.
Arifin mengaku datang untuk memeriksa kondisi rumahnya. Selain itu, ia juga berniat untuk memetik biji kopi dari ladangnya di desa tersebut. Bersama keluarga dan warga Sigarang-garang, ia mengungsi di posko GBKP Simpang Enam, Kabanjahe.
"Di sini udah //nggak// ada lagi yang tinggal. Memang ada yang masih ke ladang, tapi kalau sore gini udah balik ke posko. Kalau malam ada lah satu dua orang jaga desa ini," ujarnya.
Arifin memberanikan diri untuk memetik kopi lantaran tak ada lagi pemasukan yang ia dapat. Tadinya, ia bertani cabai, tomat kentang, dan kopi. Namun, sekarang, hanya kopi lah yang masih mampu menghasilkan. "Sekarang ada ladang padi orang kita pinjam di Kabanjahe. Dari situlah pemasukan sama ngambil kopi ini, dikit-dikit. Ketimbang nggak ada," kata Arifin.
Bersama warga lain, Arifin mengatakan telah mengungsi sejak tahun 2010. Ketika itu, kondisi yang dirasa sudah aman membuat mereka hanya bertahan di pengungsian selama sebulan dan kemudian kembali ke desa. Namun, peningkatan aktivitas Sinabung pada tahun 2013 membuat mereka harus kembali mengungsi hingga sekarang. "Aku nggak tahu lah pemerintah ini gimana rencana relokasinya. Entah kemana kita dibawa pemerintah ini. Terombang ambing," ujarnya.
Lebih dari dua tahun ditinggalkan membuat desa ini tak jauh berbeda dari Sukanalu. Terbengkalai. Namun, karena telah lama mengungsi, rumah-rumah yang ada di desa ini tak lagi dihiasi oleh barang-barang yang mengundang perhatian.
"Dulu ada maling-maling itu. Sekarang apa pula yang mau dicuri, udah kosong, udah dibawa ke posko. Paling kasur sama selimut untuk nginap kalau kemalaman berladang," kata Arifin. n
Tulisan ini dimuat di halaman 1 Koran Republika edisi 12 Januari 2015.