Selasa 12 Jan 2016 20:51 WIB

Begini Islam Memandang Minoritas Agama Lain

Rep: fuji pratiwi / Red: Nasih Nasrullah
Masjid dan gereja berdiri berdampingan di Nusa Dua Bali simbol kerukunan di Indonesia
Foto: Musiron Republika
Masjid dan gereja berdiri berdampingan di Nusa Dua Bali simbol kerukunan di Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Istilah ‘minoritas’ memang muncul di Eropa pada abad ke-16. Sistem ini diterapkan oleh negara yang menganut nasionalisme. Masyarakat diklasifikasikan berdasarkan etnis, bahasa ibu, ras dan budaya, termasuk agama serta kriteria lain yang membuat satu kelompok disebut minoritas.

Islam tidak pernah mengenal istilah minoritas. Dalam sejarah dan syariat Islam, istilah yang digunakan adalah dzimmah atau mereka yang hidup di wilayah kaum Muslim. Dzimmah lebih diartikan sebagai tetangga atau federasi komunitas dengan kesepakatan tertentu. Komunitas- komunitas yang ada dianggap setara satu dengan yang lain. Mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Muhammad Khalid Masud dalam 'Rights of Minorities in Islam' menulis di zaman Rasulullah SAW, sikap toleransi dan akomodatif terhadap kaum ‘minoritas’ bahkan dibakukan dalam Konstitusi Madinah (Piagam Madinah).

Dalam 47 poin Konstitusi Madinah, 23 poin pertama berhubungan dengan hak dan kewajiban Muslim, sementara 24 poin sisanya merupakan hak dan kewajiban Yahudi.

Poin ke 16 mengharuskan Muslim membantu Yahudi yang taat pada kesepakatan. Poin 24 mengharuskan Yahudi untuk ikut serta dalam peperangan bersama Muslim jika perang berkecamuk dalam waktu yang lama.

Poin 25 hingga 31 menegaskan kesamaan posisi Muslim dan Yahudi sebagai bagian masyarakat Madinah. Di dalamnya diatur kebebasan umat agama lain selain Islam untuk menjalankan keyakinan.

Pada poin 37 dalam piagam itu juga diatur hak kepemilikan harta. Pada paragraf ke dua Piagam Madinah, yahudi diwajibkan membayar jizyah (pajak). Jika mereka hendak berpindah ke Roma, umat Islam harus melindungi jiwa dan harta mereka hingga mereka sampai ke tujuan.

Pada dasarnya Piagam Madinah menjamin hak dasar perlindungan jiwa raga, harta dan menjalankan agama secara adil serta konsekuensi jika terjadi pelanggaran.

Penyelesaian konflik pun disepakati diselesaikan oleh Rasulullah. Sebagai pemimpin tertinggi Islam kala itu, Rasulullah melarang umat Islam yang notabene mayoritas, bersikap buruk dan mengambil paksa hak hak non-Muslim.

Rasulullah juga menghormati dan tidak keberatan menggunakan kemampuan mereka yang berbeda keyakinan. Misalnya saat pengiriman duta ke Ethiopia, Rasulullah memilih seorang non-Muslim untuk pergi ke sana, Amr bin Umayah.

Penghormatan Rasulullah juga terlihat pada orang-orang dari etnis non-Arab. Bilal bin Rabah yang awalnya seorang budak dari Ethiopia diberi kehormatan menjadi pengumandang azan selama Rasulullah hidup. Ide penggalian parit untuk menahan musuh pada Perang Ahzab juga Rasulullah ambil dari ide Salman al-Farisi yang berasal dari dari Syam.ed: nashih nashrullah

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement