REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merekomendasikan pada DPP PDIP untuk mengusulkan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal itu tertuang dalam poin nomor 4 dan 5 rekomendasi rakernas I PDIP tahun 2016.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mengatakan amandemen UUD 1945 harus dilakukan secara terbatas. Bahkan, penyebutan amandemen harus dilakukan sekaligus menjadi 'amandemen terbatas'. Sebab, kalau tidak, dikhawatirkan akan menjadi bias dan amandemen menjadi melebar ke persoalan lain.
"Jadi harus disebut amandemen terbatas terhadap UUD 1945, dibatasi hanya pada mengembalikan kewenangan MPR dalam menetapkan haluan negara dalam pembangunan nasional," ujarnya dalam pidato penutupan rakernas I PDIP, Selasa (12/1).
Megawati menambahkan, amandemen ini akan menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Saat ini, MPR hanya menjadi lembaga tinggi negara. Megawati mengaku beberapa kali bertemu dengan Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan untuk membicarakan soal pengembalian fungsi dan wewenang MPR ini.
Jika memang MPR sebagai mandataris rakyat menempati posisi lembaga tertinggi, maka akan lebih mudah untuk melihat secara keseluruhan. Namun, putri Presiden Sukarno ini menegaskan, dengan dikembalikannya MPR pada posisi lembaga tertinggi tidak berarti sistem ketatanegaraan akan kembali seperti masa orde baru.
"Ya kalau tertinggi itukan, misalnya saya disini berdiri paling tinggi bisa melhat semua, itulah sebagai contoh, mengembalikannya (MPR) sebagai lembaga tertinggi," tegasnya.
Ini masih menjadi tawaran yang akan disampaikan PDIP pada pihak-pihak lain. Megawati mengatakan, rekomendasi ini karena PDIP melihat ada masalah di sektor perekonomian. Namun, masalah ini berhubungan dengan masalah politik, serta sistem ketatanegaraan. Jadi, PDIP akan menginisiasi untuk mendiskusikan soal amandemen ini pada berbagai tokoh dan partai politik lain.
Menurut Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi bukan bermaksud untuk membuat posisi Presiden dan lembaga lainnya bertanggungjawab pada MPR.
Sebab, Presiden masih dipilih secara langsung oleh rakyat. Sistem pemilu masih menggunakan pemilihan langsung. Jadi, Presiden tidak akan memberikan laporan pertanggungjawaban pada sidang MPR. Presiden hanya akan menjalankan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah disusun.
"MPR sebagai majelis permusyawaratan rakyat, namanya majelis rakyat berada di posisi tertinggi itukan wajar. Hanya, MPR sebagai lembaga tertinggi, Presiden menjalankan GBHN, bukan dipilih oleh MPR, sistem pemilihannya tetap dengan semangat reformasi," tegasnya.
MPR hanya akan menjadi fasilitaor bagi Presiden dan lembaga tinggi lainnya memberikan laporan pada rakyat. Hal itu sudah terjadi menjelang pidato hari kemerdekaan RI tahun lalu. Jadi, dari amandemen ini, Presiden tetap pada posisinya tidak memberikan pertanggungjawaban pada MPR. Namun, hanya memberikan hasil laporan kinerja di sidang MPR RI.