REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VI DPR RI, Hafidz Thohir mengaku tidak pernah diajak bicara oleh pemerintah terkait proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Padahal meski proyek tersebut merupakan business to business (B to B) antara BUMN dengan China, tetap memerlukan izin dari DPR.
Hafidz mengatakan, meski kerjasama proyek kereta cepat dilakukan B to B, maka tetap saja mengacu kepada undang-undang kerja sama international, dimana parlemen diperlukan izinnya.
"Tetap diperlukan ijin karena menyangkut empat bumn yang asetnya dimiliki negara. kan ada undang-undang BUMN itu, dimana kekayaan negara yang dipisahkan, itulah BUMN itu, Negara ini siapa yang mengawasi? parlemen. Jadi kalau ditanya tidak perlu ijin parlemen, salah itu. kecuali yang kerja itu swasta," tegasnya.
Anggota Fraksi PAN itu melanjutkan, oleh karena itu pihaknya tidak bisa berbicara banyak soal proyek kereta cepat. Sebab Komisi VI tidak mengetahui secara pasti bagaimana skema pembiayaan serta tak mempunyai proposal proyek yang mengandeng China tersebut.
"Kami juga sudah sampaikan kepada rapat dengan kementerian ketika itu, bahwa kami disini tidak dalam posisi menerima konsep tersebut. Hingga groundbreaking juga tidak ada pembicaraan kalau ada kan kami bisa jawab, dari sisi ini tidak visible, dari sisi ini visible dan lain-lain," katanya.
Seperti diketahui, proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung telah resmi dimulai. Namun pelaksanaan pembangunan belum bisa berjalan mulus. Sebab pelaksana proyek, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), belum menyerahkan tambahan Detail Engineering Design (DED) atau detail desain rekayasa kepada Kementerian Perhubungan.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto Dwiatmoko menjelaskan, saat ini pihaknya masih mengkaji kelengkapan izin pembangunan. Ia menyebutkan, pelaksana proyek perlu mendapat izin usaha dan perjanjian penyelenggaraan (konsesi) yang saat ini masih dibahas.