REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Jelas saya sedih sekali. Jamaah yang datang ke masjid ini adalah orang baik-baik. Dan kini, saya harus berpisah dengan mereka."
Suara rintihan itulah yang terucap dari bibir Khafiudin (57 tahun). Dia adalah marbot alias pengurus Masjid al-Mubaarokah yang terletak di kawasan Kalijodo RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Udin, sapaan lelaki itu, mengaku sedih lantaran masjid yang ia kelola itu kini masuk dalam area yang hendak digusur oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Padahal, kata dia, bangunan ibadah tersebut selama ini sedikit banyaknya ikut menjadi benteng bagi warga dan anak-anak yang tinggal di sekitar Kalijodo dari pengaruh aktivitas pelacuran yang marak terjadi di kawasan itu.
Menurut dia, tidak semua orang Kalijodo terlibat dengan bisnis prostitusi. Seperti masyarakat yang tinggal di sekitar Masjid al-Mubaarokah misalnya. Rata-rata kaum perempuannya bekerja sebagai ibu rumah tangga, sedangkan warga laki-lakinya memiliki profesi beragam seperti karyawan dan buruh. "Mereka tidak ada hubungannya sama pelacuran, tapi juga ikut kena gusur," ujar Udin.
Marbot Masjid al-Mubaarokah lainnya, Haji Sidik (70) mengungkapkan, keberadaan rumah ibadah itu juga ikut berkontribusi memberikan pendidikan agama bagi anak-anak Kalijodo. Ia sendiri telah membuktikannya. Sejak 30 tahun lalu, ia selalu rutin mengajari bocah-bocah yang tinggal di sekitar masjid itu mengaji.
"Biasanya saya mengajar anak-anak di sini baca Alquran setiap malam. Jumlah mereka memang tidak banyak, enam atau tujuh orang saja," tutur Sidik.
Kini, Udin dan Sidik hanya bisa menatap masa depan masjid yang mereka jagai itu dengan mata nanar. Apalagi ketika menyaksikan warga yang selama ini menjadi jamaah masjid tersebut akhirnya pergi satu per satu meninggalkan mereka.
"Sejak kemarin, warga terlihat sibuk mengosongkan rumah dan mengangkuti barang-barang mereka. Ada yang pindah ke rusun(rumah susun), ada juga yang mencari kontrakan di daerah lain," ucap Udin.
Ia mengaku hanya bisa pasrah dengan rencana penertiban oleh Pemprov DKI. Sebagai rakyat kecil yang sehari-harinya menggantungkan hidup di masjid, ia tidak bisa berbuat banyak selain menunggu datangnya waktu penggusuran bangunan ibadah tersebut.
"Setelah ini, mungkin saya pulang ke kampung halaman di Serang (Banten). Belum tahu apa yang mau dikerjakan di sana, mungkin bertani saja," ujar bapak tiga anak itu dengan lirih.