REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Prof Nasaruddin Umar dianugerahi sebagai Tokoh Perbukuan 2016 dalam Islamic Book Fair (IBF) tahun ini di Jakarta. Saat dihubungi, mantan wakil menteri agama ini mengaku tidak menyangka akan mendapatkan predikat tersebut.
Pria kelahiran Sulawesi Selatan ini mengakui proses seleksi dewan perbukuan IBF cukup ketat. Dia bersyukur atas penghargaan ini. "Saya kok merasa, tidak pantas untuk menjadi tokoh perbukuan. Masih banyak orang yang lebih pantas untuk jadi tokoh perbukuan," ucap Prof Nasaruddin Umar saat dihubungi, Sabtu (27/2).
Dia mengenang, sudah terjun ke dunia tulis-menulis sejak SMA. Bahkan, selama belajar di tingkat sarjana, Nasaruddin menjadikan menulis sebagai sumber pendapatan tambahan.
"Memang dunia saya menulis sejak saya kecil, mulai dari S-1 saya banyak menulis artikel, membiayai kuliah dengan (menulis) artikel. Kemudian membiayai adik-adik dengan artikel, buku," katanya mengisahkan.
Kebiasaan literasi di bangku kuliah, dia mengungkapkan, meningkatkan kepiawaiannya untuk menulis artikel di pelbagai media massa, khususnya Republika.
Selain itu, hingga kini sosok yang pernah mengenyam program PhD pada Universitas McGill Kanada ini masih aktif sebagai penanggung jawab di beberapa jurnal ilmiah. Di samping pula sebagai anggota dewan redaksi jurnal-jurnal nasional dan internasional.
Untuk menjadi penulis yang handal, dia menyarankan perbanyak waktu membaca. Dia mengaku, ke manapun ia mengunjungi suatu tempat, buku-buku selalu menjadi teman perjalanan. Bagi seorang penulis, membaca dapat menguak ide dan perspektif baru.
"Karena saya tak ingin tulisan saya berulang. Kan plagiasi, itu yang saya takuti. Termasuk, //self plagiarism//, sama jeleknya dengan memplagiasi punya orang," ujarnya.
Nasaruddin menjelaskan, dalam menulis, dia berusaha untuk memiliki ciri khas tersendiri. Dengan begitu, pembaca pun akan mampu tertarik dengan gagasan yang ia coba hadirkan. Salah satu konsennya, yakni berusaha menghargai perbedaan dalam keragaman.
"Ciri khas tulisan saya, bagaimana mendekatkan yang berbeda, menghimpun yang berserakan. Karena kita ingin melihat Indonesia jadi bangsa yang kuat. Menekankan aspek persatuan, bukan perbedaan. Saya tak tahu apakah itu dinilainya (oleh IBF)," katanya.
Terkait budaya literasi umat Islam di Indonesia, Nasaruddin menduga, tantangan terbesar saat ini adalah kebiasaan menulis. Itu, menurut dia, masih sangat kurang digiatkan. Salah satu sebabnya, dia menengarai, yakni dominasi budaya lisan, alih-alih membaca.
"Tantangan paling besar itu menulis. Kita banyak penceramah, tetapi penulis kurang. Ulama kita sebenarnya tak kalah dengan ulama Timur Tengah. Tapi kita tak produktif menulis," katanya.
Dia juga merasakan, kebanyakan tulisan yang diproduksi dalam konteks Islam di Indonesia masih pada soal opini atau pemikiran deduktif. Adapun tulisan-tulisan yang berdasarkan pada hasil riset empiris masih kurang. Untuk itu, dia mengaku, akan terus menggiatkan dunia penelitian Islam di Tanah Air.